Aku Ingin Sendiri

213 40 3
                                    

Kamar bernuansa gelap itu terkesan sangat sunyi, sepi, hening, hampir tidak menghadirkan tanda-tanda kehidupan. Lampu yang menjadi penerang saat sang mentari terbenam di barat tak dinyalakan. Tak banyak dekorasi yang terlihat. Hanya sebuah tempat tidur king size dengan selimut dan sarung bantal berwarna abu-abu gelap, meja kerja lengkap dengan computer keluaran terbaru, sebuah lukisan abstrak bernuansa hitam terpajang di samping pintu masuk menuju kamar itu dan sebuah kursi serta meja kayu di sudut ruangan. Tak lupa, tirai abu-abu gelap yang menyembunyikan sosok pemilik kamar, menenggelamkannya kedalam bayangan.

Suara minuman yang dituangkan kedalam gelas terdengar samar. Hanya tampak sebuah siluet hitam sedang meneguk cairan di dalam gelas itu. Sosok bayangan itu menyisirkan rambutnya kebelakang, kemudian menghela nafas panjang. Deru nafasnya menjelaskan bahwa sosok itu sedang tidak baik-baik saja.

Pintu kamar terbuka, suara langkah heels wanita terdengar jelas memasuki kamar. Cahaya yang merambat masuk dari luar kamar membuat sosok di dalam siluet itu mendecak kesal. Mungkin wanita yang tengah berdiri diambang pintu itu tidak tahu, tapi sorot mata tajam sedang menatap lurus kearahnya.

Wanita dengan dress selutut itu mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai bebas. Ia melipat tangan kedadanya, seolah acuh dengan ketidaknyamanan sang pemilik kamar yang bisa ia lihat dengan jelas siluetnya di sudut ruangan. Tak lupa, teman akrab pemuda itu, sebotol minuman keras dan gelas kecil kesukaannya.

Suara heels kembali terdengar di ruangan itu. Cahaya lampu dari luar ruangan dapat membantu wanita semampai itu untuk menemukan kasur empuk dan duduk disana sambil menyilangkan kakinya. Ia kembali merapikan tatanan rambutnya, berusaha terlihat menarik dan cantik walaupun hanya bayangannya yang terlihat.

“Keluarlah!” perintah pria itu dengan nada lumayan kasar. Ia kembali menuangkan minumannya dan menghabiskannya dalam sekali teguk.

“Sampai kapan kau akan seperti ini?” Wanita itu buka suara. Bibirnya membentuk seringai mengerikan. Ia menatap lurus kearah pria yang sepertinya sangat menolak keberadaannya.

“Bukan urusanmu. Aku sedang tidak berselera untuk meladenimu saat ini. Keluarlah sebelum aku menyeretmu dengan paksa.”

Kalimat yang terdengar seperti ancaman itu tak menggoyahkan wanita keras kepala itu. Suara kekehannya terdengar mengisi ruangan, seperti menjawab ancaman pria yang sudah lama ia kenal itu.

Wanita itu bangkit, berjalan menyusuri dinding dan mencoba menemukan saklar lampu. Dengan segera ia menekan saklar dan dalam sekejap kamar itu diterangi cahaya lampu yang dengan jelas mengekspos sosok yang sejak tadi menyembunyikan dirinya di bawah bayangan hitam.

Park Jimin mendecak kesal. Sorot matanya terlihat sinis, mungkin bisa dibilang sangat mematikan. Namun sayangnya wanita yang kini tengah menjadi perhatiannya hanya mengumbar senyum polos tak berdosa.

Jimin meraih botol minumannya dan dengan segera membantingnya ke lantai. Minuman mahal itu sekarang berserakan di lantai, menyebar ke berbagai sudut ruangan. Suara nyaring dari botol itu seperti memberikan rasa lega, seperti menghilangkan setitik kegundahan di kepalanya. Kakinya ikut bereaksi. Ia menendang meja kecil dihadapannya dengan keras, menimbulkan bunyi nyaring di tengah malam yang diselimuti hening ini.

Seperti tidak peduli dengan keadaan yang kacau, wanita itu hanya berdiri sambil memandangi Park Jimin yang tengah memegangi kepalanya. Wajah frustasi terlihat jelas, seperti sudah jengah dengan setiap detik hidup yang ia lalui.

“Tinggalkan aku sendiri,” pinta Jimin lirih. Tangannya menutupi wajahnya, tak ingin melihat kekacauan yang ada dihadapannya.

Do Young-eun tertunduk, seperti bisa merasakan perasaan Jimin saat ini. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk sosok yang telah bersamanya selama hampir seluruh hidupnya itu. Jimin tak menginginkannya, tak ingin ia masuk dan membantunya keluar dari rasa sakit. Bagi Jimin, Young-eun adalah rasa sakitnya. Gadis yang sudah ia kencani selama 5 tahun belakangan itu mencintai pria lain dan memutuskan untuk meninggalkannya. Young-eun benar-benar melukainya hingga ke bagian paling dalam. Sulit disembuhkan, sulit dilupakan.

“Jimin-ah …” panggil Young-eun lembut. Gadis itu mengambil nafas panjang, berusaha untuk mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan sepatah-dua kata untuk pria yang ia kenal selama 20 tahun itu.

Jimin berdiri, berjalan dengan wajah penuh amarah kearah Young-eun. Jimin meraih pergelangan tangan Young-eun, dengan segera menariknya keluar kamar. Ia tak mempedulikan pecahan botol kaca yang tanpa sadar mulai menembus kakinya yang tidak memakai alas sama sekali.

Young-eun mencoba meronta, melepaskan diri dari cengkraman Jimin. Namun sepertinya amarah Jimin menyumbangkan tenaga luar biasa hingga mustahil rasanya bisa lepas dari genggaman tangan pria itu.
Jimin mendorong Young-eun keluar kamar dan dalam sekejap menutup pintu dengan keras hingga bunyinya terdengar menggaung di rumah sepi itu.

Mata Young-eun berkaca-kaca. Hatinya perih melihat Park Jimin yang hancur karenanya. Ini juga salah hatinya yang memilih untuk mencintai pria lain dan meninggalkan sosok paling penting di hidupnya dalam 5 tahun ini. Young-eun mengelus tangannya yang tampak memerah dan terasa perih. Airmata mulai jatuh membasahi pipinya, seperti berusaha menyatakan simpati pada kondisi pria itu saat ini.

Cahaya dari kamar Jimin menghilang. Telinga Young-eun dengan jelas mendengar jeritan penuh pilu dari kamar itu. Detik selanjutnya, suara bantingan barang-barang kelantai terdengar. Young-eun terkejut bukan main. Ia menutup bibirnya dengan punggung tangan, berusaha meredam emosi yang mulai meluap akibat kesalahannya.

Seorang pria paruh baya tergopoh-gopoh menghampirinya, diikuti dengan seorang wanita yang sepertinya memiliki usia tidak terlalu berbeda dari pria itu. Pria paruh baya itu mendekati Young-eun, menatap dengan raut khawatir.

“Maafkan aku,” lirihnya di sela isakan yang samar-samar lolos dari bibirnya.

Ayah Jimin hanya bisa tertunduk pasrah. Mungkin ini takdir, ia tak bisa merubahnya atau bahkan melawannya. Putranya harus bisa menerima kenyataan bahwa wanita yang ia cintai memilih pria lain. Kenyataan pahit yang mau tidak mau harus ia jalani walaupun terasa seperti menginjak ribuan duri tajam.

Ibu Jimin mengelus bahu Young-eun dengan lembut. Ia mencoba menenangkan Young-eun yang tampak terguncang. Ibu Jimin menarik Young-eun kedalam pelukannya, mengelus-elus rambut panjang Young-eun. Namun wanita itu malah menangis semakin kencang di pelukan ibu Jimin.

Beberapa pelayan rumah hanya bisa melihat adegan menegangkan itu dari jauh. Beberapa dari mereka berbisik kecil, menatap prihatin kearah majikan mereka. Mereka tahu betul tentang Jimin dan Young-eun. Tak ada yang menyangka kisah cinta romants mereka akan berakhir tragis seperti ini. Bahkan takdir bermain dengan sangat kejam kepada orang sebaik dan setulus Jimin.

Pria tinggi berjas hitam menghampiri kerumunan di depan kamar Jimin. Ia sedikit membenarkan kacamatanya, lalu membungkuk sopan saat melihat Ibu dan Ayah Jimin melihat kehadirannya.
Matanya menatap lurus kearah Young-eun yang sedang menangis tersedu dipelukan ibu Jimin. Tangan kokohnya mengelus rambut Young-eun dengan lembut. Ajaibnya, sentuhan itu membuat Young-eun tenang seketika. Young-eun dengan segera melepas pelukannya dari ibu Jimin dan segera memeluk pria itu.

“Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja,” kata pria itu sambil mengecup puncak kepala Young-eun.

Ibu dan Ayah Jimin saling berpandangan. Ada raut yang sulit dielaskan di wajah keduanya.

“Tuan, Nyonya, kami permisi dulu. Ini sudah sangat malam. Young-eun harus beristirahat dengan baik untuk menjaga kehamilannya.”
Pria itu membungkuk sopan, Young-eun juga. Wanita itu menghapus airmatanya dengan punggung tangan, mencoba menarik nafas panjang untuk menenangkan dirinya. Ia menatap sejenak pria tinggi disampingnya itu, lalu kembali menatap ibu dan ayah Jimin.

Pria itu menggandengan tangan Young-eun dan segera beranjak dari rumah mewah itu. Mata para pelayan dengan lekat menatap kepergian keduanya. Seperti melihat benda aneh lewat di hadapan mereka, sulit untuk melepaskan atensi dari sepasang suami-istri yang baru saja melangsungkan resepsi sore tadi.

Ibu Jimin mengetuk pintu dengan panik, berusaha mendapat jawaban dari putra semata wayangnya itu.

“Jimin-ah, ini Eomma …” panggilnya.
Pria paruh baya itu berjalan menjauh. Kepalanya sudah sangat pusing dengan masalah para pemegang saham hari ini. Ia tidak ingin menambah bebannya lagi. Lagipula, Jimin adalah seorang lelaki, tak seharusnya  begitu mudah di patahkan oleh wanita. Masih banyak wanita di dunia ini yang bisa menerimanya. Dalam satu-dua hari kedepan, anak itu pasti akan baik-baik saja pikirnya.

“Yeobo! Kau mau kemana!” Ibu Jimin berteriak dengan nyaring kearah punggung suaminya yang semakin menjauh itu.

***

Jangan Baper! Kita Cuma MANTAN |Jeon Jungkook| [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang