Jepang mulai masuk ke daerah Surabaya pada tahun 1942 dan saat itu aku masih berusia tujuh belas tahun. Arak-arakan tentara dengan mobil dan tank di jalan terasa begitu mengesankan. Jangan lupa senapan panjang yang setia di tangan mereka. Para pribumi tampak bahagia menyambut kedatangan mereka karena menganggap orang Jepang sebagai penyelamat yang membebaskannya dari Belanda. Slogan Jepang pun terdengar menarik: “Nippon Pemimpin Asia”, “Nippon Pelindung Asia”, dan “Nippon Cahaya Asia”.
Namun, aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Mereka memaksa kami untuk tunduk dan bertingkah jauh lebih menyebalkan dibanding Belanda sejak hari pertama mereka masuk ke sini. Dan memang rasa kesalku itu tidak salah. Hari kedua mereka di sini sudah ada kericuhan kecil yang terjadi.
Suara tembakan dan teriakan terdengar begitu nyaring membangunkanku dari tidur yang nyenyak. Aku langsung bergerak secara perlahan untuk mengintip apa yang terjadi di luar rumah melalui celah sempit pada jendela kamar kami yang tertutup. Mataku tidak bisa berkedip ketika melihat beberapa tentara Jepang berdiri tepat di depan rumah Pak Suryo yang letaknya di seberang rumahku.
Istri Pak Suryo tampak masih mengenakan baju tidurnya, menunduk ketakutan, dan bersender ke bahu suaminya. Celah jendela yang sempit mencegahku untuk melihat lebih jelas apa yang orang-orang Jepang itu lakukan. Hingga akhinya, mereka pergi dengan mobil mereka dan Asrti ada di dalamnya. Astri adalah anak gadis satu-satunya Pak Suryo yang sebaya denganku.
Mengapa para tentara Jepang itu membawa Astri pergi subuh-subuh begini?
"Ati-ati, Nak. Sesuk uga bisa dadi wayahmu.”
(Hati-hati, Nak. Besok bisa aja giliranmu.)
Itu jawaban yang kudapat dari Pak Suryo. Aku memang bukan pribumi. Aku peranakan Tionghoa, tetapi aku seorang pedagang kain di wilayah yang mayoritas pribumi. Mau tak mau, aku harus belajar sedikit bahasa Jawa agar bisa berkomunikasi. Tetap saja, jawaban itu membuatku tidak paham sama sekali dengan apa yang terjadi.
Sampai akhirnya, seminggu setelah kejadian itu, mereka menggedor pintu depan rumahku.
Aku membukakan pintu sambil sibuk menggendong adik perempuanku yang berusia satu tahun. Ibu hamil tua dan meninggal sesudah melahirkannya. Tak lama setelah itu, ayah dipanggil oleh orang Belanda dan tidak pernah kembali setelahnya. Tersisa diriku yang terpaksa bekerja banting tulang demi agar tetap hidup. Usia yang terpaut jauh antara kami membuat banyak orang berasumsi bahwa aku adalah ibunya.
Dan sepertinya, dua pria berseragam ini juga berpikir demikian.
Wajah mereka mengkerut tidak suka kemudian mereka mengobrol dengan satu pria lainnya yang kukenal. Aku memanggilnya Paman Lie, dia adalah keturunan Tionghoa sama seperti diriku. Beliau menguasai banyak bahasa dan bekerja sebagai penerjemah di instansi pemerintah sejak para orang kulit putih itu masih di sini. Aku ingat dia adalah orang yang memanggil ayahku atas nama Belanda.
“Ada apa ini?” tanyaku kepadanya dengan Bahasa Mandarin.
“Mereka ingin memberikanmu beasiswa kuliah. Mereka akan memberikanmu tempat tinggal, makanan, dan segala kebutuhan secara cuma-cuma. Kau hanya perlu ikut dengan mereka. Kalau kau mau, kau bisa membawa anak ini juga.”
“Tidak mau.”
Aku baru saja lulus dari Holland Chinezeen Scholen dua tahun lalu dan berniat fokus bekerja untuk bertahan hidup saja. Kuliah itu merepotkan, apalagi ini ditawarkan oleh orang-orang Jepang yang jelas baru menginjakkan kaki mereka ke Surabaya sekitar seminggu yang lalu. Masih belum pasti sistem belajar mengajar seperti apa yang akan mereka terapkan.
Paman Lie lalu menyampaikan jawabanku kepada dua tentara itu. Mereka kembali berbincang dalam bahasa Jepang yang tidak aku mengerti. Percakapan mereka memakan waktu cukup lama. Adikku mulai menangis dan aku sibuk menenangkannya. Paman Lie kembali berbicara denganku.
“Itu adikmu kan?”
“Aku rasa paman tahu jawabannya.”
Pria itu menghela napas, berbicara lagi dengan orang-orang Jepang kemudian pergi begitu saja. Aku tersenyum lega dan bersyukur bahwa mereka tidak memaksaku pergi seperti yang terjadi kepada Astri. Esok dan hari-hari berikutnya, para tentara itu selalu datang ke rumah warga yang memiliki anak gadis di rumahnya untuk ditawari kuliah. Aku menyaksikan sendiri banyak perempuan muda yang ditangkap dan tidak pernah terdengar lagi kabarnya.
Dan itu malah membuatku terheran.
Mengapa mereka malah meloloskanku?
- - -
“Dia walaupun baru berusia tujuh belas tahun, tapi ia adalah seorang janda. Suaminya meninggal karena ikut Belanda dan dia seorang diri mengasuh anaknya. Ia bilang dia tidak tertarik sama sekali dengan tawaran ini. Kalian yakin ingin mengambilnya?”
“Janda?”
“Iya, dia pernah menikah.”
“Mayor ingin gadis yang polos dan cantik untuk menjadi jugun ianfu. Anak ini tidak terlalu cantik dan ia juga sudah tidak perawan. Sebaiknya, kita biarkan saja daripada kita ambil dan Mayor malah marah kepada kita karena asal memilih orang. Bagaimana menurutmu, Kapten Nakawara?”
“Baiklah, biarkan saja.”
Ah, ya, kebohongan Paman Lie kepada para tentara Jepang itu berhasil menyelamatkan diriku dari perbudakan seks. Aku tidak tahu bagaimana ingin berterimakasih kepadanya. Namun, di sisi lain, aku merasa iba kepada Astri dan gadis-gadis lainnya yang dibawa pergi untuk melayani para prajurit Jepang dengan paksa. Tidak seharusnya mereka diperlakukan seperti itu.
END.
> Holland Chinezeen Scholen = sekolah khusus peranakan Tionghoa yang dibangun oleh orang Belanda.
> Jugun ianfu = wanita yang menjadi korban dalam perbudakan seks oleh Jepang selama perang.
29 Agustus 2020