days in hometown

47 13 42
                                    

Lagu untuk chapter ini : Never Not - Lauv

Hari ketujuh di Welwyn kuhabiskan dengan kembali mencari lowongan pekerjaan, dan kali ini secara online di sebuah kafe. Tiga jam aku berselancar di internet memanfaatkan fasilitas wi-fi dengan hanya memesan satu gelas minuman dan semangkuk pasta.  Beberapa pelayan kafe yang mebersihkan meja sampai menatapku heran, mengapa aku begitu lama berada di sini meskipun gelas dan mangkukku sudah kosong.

Sejujurnya, aku enggan menghabiskan uangku yang semakin menipis. Tapi berada di rumah sendirian tanpa teman bicara satupun membuatku gila. Marry kembali bekerja, sementara ayah, tentu saja. Dia akan menghabiskan waktunya di tattoo shop tempatnya bekerja. Bahkan terkadang, dia baru menginjakkan kaki di rumah kala dini hari.

Sejak kejadian dimana aku bertengkar dengan ayah, dia lebih banyak mendiamkanku. Sekalinya kami berinteraksi langsung, akan kembali terjadi percekcokan ayah dan anak yang membuat suasana rumah menjadi nggak nyaman. Marry bahkan harus berulang kali melerai kami.

Satu hal yang nggak hentinya diucapkan ayah saat kami cekcok adalah "kau adalah anakku, dan akulah yang sekarang punya hak penuh atasmu, bukan ibumu lagi, jadi belajarlah menghormatiku."

Kalimat itu menyiratkan sesuatu dalam benakku. Membuatku berasumsi bahwa ayah dan ibu sudah membuat kesepakatan bahwa hak asuhku sekarang berada di tangan ayah. Dan lagi-lagi, tanpa membicarakannya denganku.

Hari ke delapan, aku mulai merasa jengah berada di rumah ini. Pemandangan yang sama akan terulang setiap malamnya. Ayah yang mabuk bersama temannya sembari bermain taruhan, Marry yang sibuk dengan pekerjaannya, bahkan wanita itu terkadang harus menghabiskan waktu sendirian tanpa ayah meskipun -katanya- mereka adalah sepasang kekasih.
Aku mulai mempertanyakan, sebenarnya hubungan seperti apa yang mereka jalani?

Atau mungkin, ayah dan Marry sedang bertengkar karena wanita itu akhirnya mengetahui perlakuan kasar ayah dari mulutku?

Ah, entahlah.

Rasanya benar-benar nggak nyaman, hidup satu rumah dengan beberapa orang, namun mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.

Malam harinya, Marry mengajakku keluar dan makan malam di sebuah restoran. Wanita itu mengajakku ngobrol tentang banyak hal dan bertanya banyak hal pula tentangku. Hobi, lingkaran pertemananku, keseharianku di Indonesia, bagaimana suasana di sana, namun aku hanya menjawab seperlunya.

Cukup aneh rasanya makan malam bersama dengan seorang wanita berusia tigapuluhan meskipun memang, dia memperlakukanku seperti anaknya. Marry sepertinya adalah orang yang enak untuk diajak bicara, namun sekali lagi, aku nggak berminat membuka diri padanya. I don't trust her enough.

Pada akhirnya, Marry lah yang lebih banyak bicara. Dia menceritakan bagaimana pertemuannya dengan ayah sampai akhirnya mereka bisa menjadi pasangan kekasih. Semua dimulai karena sebuah rasa yang disebut iba.

Persis sepertiku dan Sandra. Kami ada dalam sebuah hubungan pertemanan yang dimulai karena rasa iba.

Marry melakukan segala cara agar ayah bisa mendapat keringanan hukuman dan bisa diterima untuk bebas bersyarat. Dia bahkan menolong ayah untuk masuk rehabilitasi. Namun melihat kenyataan bahwa ayah masih saja minum alkohol sampai hari ini, rehabilitasi itu nyatanya nggak berhasil.

Lagi-lagi, Marry menggunakan alasan cinta membutuhkan pengorbanan dan komitmen. Sebuah alasan klasik yang membuatku muak mendengarnya. Sebuah alasan yang membuat seseorang mau mengorbankan diri demi orang lain yang belum tentu tahu diri akan pengorbanan yang dilakukan pasangannya.

Aku hanya diam, sesekali mengangguk, bergumam "hmm, i see." Hanya untuk menghargai Marry yang sudah membeberkan kisahnya padaku. Selebihnya, semua kalimatnya seperti angin lalu bagiku sampai akhirnya dia memulai sebuah topik pembicaraan yang sukses membuat perasaanku bergejolak.

Love, Hate, Future, and PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang