Jika aku punya pilihan dalam memilih takdir. Ingin sekali aku mengatakan pada Tuhan. Tak mau hidup seperti ini. Akan tetapi, manusia tak bisa protes terhadap diari kehidupan yang Dia goreskan. Lantas, apa aku harus menyerah dengan keadaan?
Perkataan yang mengadung isi, mengeluh pada takdir Tuhan. Acap kali dilafalkan berulang-ulang oleh Tami. Membuat telinga ini muak, mendengar celotehnya. Andai, telingaku mampu merangkai kata. Mungkin ia akan memuntahkan segala isi yang bersumber dari gadis itu.
Siang itu, matahari secerah warna api. Panasnya membakar sekujur raga. Membuat tubuh mungil ini meronta-ronta. Seperti ikan yang tengah dipanggang di atas kompor.
Aku memilih untuk mendinginkan tubuh. Dengan bersantai di rumah pohon. Tempat yang paling cocok untuk merelaksasikan pikiran. Atas semua masalah yang tak berhenti bertandang. Kadang aku ingin menyerah pada keadaan. Mengamini permintaan yang sering didengungkan oleh Tami, sahabatku. Akan tetapi, nasihat Amak memintaku untuk tetap bertahan di sini, di Desa Gapto. Membuatku diterpa dilema.
"Ata, Amak tahu keadaan ini sulit bagimu. Akan tetapi, jika kamu pergi dengan Tami. Keadaan yang lebih buruk akan terjadi pada keluarga kita," ujar Amak seraya mengelus kepalaku. "Kamu pasti paham dengan apa yang Amak ucapkan."
"Amak, jika kita masih tinggal di sini. Hidup kita tak akan berubah. Beragam kesulitan dan penderitaan silih berganti datang menghampiri," jawabku, kontradiktif dengan pernyataan Amak. "Bukankah Amak ingin hidup senang?"
"Amak pun tak sanggup kehilangan, Ata. Umurmu masih terlalu kecil untuk menaklukkan hingar-bingar ibu kota. Masih 12 tahun. Amak sungguh tak bisa melepaskanmu."
Lambaian dedaunan pohon menyentak lamunanku. Membuat mata terbuka lebar-lebar. Saking lebarnya, seolah ingin melompat dari kerangka. Dalam memikirkan rencana kehidupan yang harus aku laksanakan. Mengingat banyak beban yang harus disandang sebagai tulang punggung keluarga. Penyambung harapan Amak dan Candra, adikku. Mereka sosok yang mampu membuat diri ini bertahan. Berusaha semangat dalam menghirup udara bebas.
Penderitaan hidup tak berhenti menerpa keluarga kecil kami. Sejak Abak memilih pergi dari kampung. Dengan alasan mengais rezeki di negeri seberang. Entah apa nama wilayahnya, aku tak tahu pasti. Sebab, sedari awal tak pernah dikabarkan oleh lelaki berumur 50 tahun tersebut.
Demi mencari sesuap nasi untuk pengganjal perut, pelepas dahaga dan lapar. Membuat Abak hingga detik ini belum pulang ke kampung. Jangankan untuk pulang, menitip sehelai rupiah pada tetangga yang kerja di kota. Agar diberikan pada kami, pun tak pernah Abak lakukan. Entah, apa yang menimpa lelaki paruh baya itu. Sampai melupakan daratan yang telah membesarkan namanya.
Ketika aku tanya pada Om Jon, teman seperjuangan Abak di kota. Tentang keberadaan lelaki dengan tahi lalat di bawah dagu itu. Om Jon selalu menyumbat telinga, membalut mulut rapat-rapat. Tak mau mengeja kata, sudah seperti orang bisu saja.
"Om, tak bermaksud menyembunyikan keberadaan Abak. Akan tetapi, beliau sendiri yang melarang Om untuk menyampaikan fakta yang sebenarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Mentari
SpiritualSagata Ankira, seorang gadis pendalaman dari kepulauan Mentawai. Harus bejuang hidup mandiri di usia yang masih belia, umur 12 tahun. Tanpa belaian Amak yang hilang di hutan tanpa menyisakan jejak. Dan Abak yang tak pernah kembali selepas merantau d...