23 - Kenangan

1.5K 161 7
                                    

Selamat membaca ^_^

Jehan memejamkan matanya menikmati angin malam pantai. Tidak peduli jika badannya masuk angin nanti, Jehan hanya ingin menenangkan pikirannya malam ini.

"Gak ada yang mau kamu ceritain gitu?" Haechan bertanya.

"Cerita apa?"

"Apa aja."

"Hmm... Namaku Jehan Arina, anak pertama dari tiga bersaudara adikku laki-laki semua beda umur 3 dan 7 tahun. Lahir di Jakarta, tanggalnya sama persis kayak Jisung. Asli Indonesia. Apalagi ya?"

Haechan terkekeh gemas. "Itu sih pengetahuan dasar."

Jehan ikut terkekeh. "Hmm... Pantai..." Jehan menatap sendu sekitarnya.

"Ini aja deh, perjalanan hidupku.." Jehan terkekeh di akhir kalimatnya.

Haechan ikut terkekeh dan mengangguk, "Oke."

"Dulu waktu kecil, setiap setahun atau setengah tahun. Kami sekeluarga pasti berkunjung ke rumah nenek, orangtua ayah. Rumahnya dekat pantai, tapi pantainya masih asli banget, belum terjamah orang kota, belum ada hotel, resort dan semacamnya. Pasirnya putih dan bersih."

"Aku sering bertengkar sama sepupuku. Setiap tengkar, aku pasti nangis kencang banget. Kalau udah gitu, ayah bawa aku ke pantai. Katanya, 'Kalau mau nangis disini aja, biar gak ganggu satu kampung'. Dengar omongan ayah malah bikin aku ngerasa malu, jadinya tangisanku berhenti pelan-pelan." Jehan mengatur napasnya sejenak.

"Ayah suruh aku dengerin suara ombak. Ayah bilang aku harus jadi seperti ombak yang suaranya lantang tapi tenang, supaya orang-orang mau mendengarku. Maksudnya, aku harus berani menyampaikan pendapat atau mengutarakan isi hati, jangan suka memendam. Tapi, harus dengan cara yang baik, kalau aku menyampaikannya dengan kasar, sambil marah, orang malah gak mau dengar, menganggap aku emosian, dan ucapanku hanyalah omong kosong yang aku tumpahkan saat aku marah."

"Entah kenapa aku merasa kalau ayah kamu orang yang hebat." Haechan tersenyum menatap Jehan.

Jehan mengangguk, balas tersenyum. "Ayah itu lembut, tapi tegas. Ayah ngajarin aku banyak hal, dari nasihat kehidupan, beladiri, bahkan teori dasar ilmu sains. Semuanya diselipkan di keseharian kami. Dulu aku pikir, ngapain ayah ajarin pelajaran anak SMA ke anak TK? Aku sering mengabaikan kalau ayah udah bahas soal materi-materi sekolah menengah itu."

"Tapi, setelah dewasa aku baru paham, kalau tujuan ayah adalah supaya aku bisa tumbuh jadi anak yang cerdas. Teori-teori itu gak cuma sekadar materi yang diajarkan di sekolah, tapi ada banyak pengajaran yang bisa dipetik kalau kita mau berpikir lebih luas. Kadang aku juga mikir, apa ayah udah punya firasat bakal ninggalin aku sebelum aku dewasa? Jadi semuanya ayah ajarkan selagi ia masih punya waktu? Gak ada yang tahu."

"Aku merasa jadi orang paling bahagia saat ayah masih ada. Secara finansial pun kami cukup, sangat cukup. Teman sekolahku (SMP, SMA) yang tahu rumahku malah gak percaya kalau hidupku agak susah, karena rumahku cukup besar dan bagus katanya."

"Dan semua berubah begitu ayah pergi. Hari itu, bunda lagi hamil adikku yang terakhir, tinggal beberapa hari sebelum HPL --hari perkiraan lahir. Bunda pendarahan dan langsung dibawa kerumah sakit sama bibiku. Kita kasih tahu ayah dan ayah langsung menuju rumah sakit, nahasnya ayah kecelakaan di jalan dan gak bisa diselamatkan."

"Aku yang gak ngerti apa-apa cuma duduk di kursi tunggu rumah sakit sambil meluk adikku. Bunda masih ditangani dan bibi sibuk ngehubungin keluarga yang lain untuk ngurus jenazah ayah. Adik terakhirku akhirnya lahir ke dunia, tapi sebaliknya ayah pergi meninggalkan dunia."

"Besoknya, banyak orang yang datang ke rumah, menangis. Yang aku pikir waktu itu, gak sopan kalau kita tidur di saat banyak tamu yang datang ke rumah. Aku inisiatif bangunin ayah, tapi ditahan sama sepupuku yang sudah besar. Dia meluk aku erat sambil menangis, halangin aku untuk samperin ayah." Jehan terkekeh sambil matanya mengeluarkan air mata.

Haechan mengusap-usap bahu kekasihnya, mencoba menenangkannya.

"Sampai di pemakaman baru aku nangis. Aku meronta-ronta minta orang-orang jangan timbun jenazah ayah. Aku bilang 'nanti ayah gak bisa napas!', padahal ayah emang udah gak bernapas. How innocent."

"Bunda terpukul atas kepergian ayah, setiap hari melamun. Semuanya serba tiba-tiba. Bibiku dan anaknya yang sudah besar, terpaksa tinggal dirumah untuk ngurus kami. Keadaan bunda berangsur membaik setelah lima bulan, bunda baru mulai berbicara lagi sama kami dan mengurus adikku yang masih bayi. Meskipun masih melamun dan menangis sesekali."

Jehan menghela napasnya kemudian melanjutkan ceritanya. "Setelah adikku satu tahun, bunda mulai cari-cari pekerjaan karena kami gak bisa terus-terusan mengandalkan harta peninggalan ayah."

"Kerja di restoran, asisten rumah tangga, jualan nasi, dan lain lain. Selama itu masih baik apapun bunda lakuin demi bisa menghidupi kami. Bunda gak bisa cari kerja di kantoran atau kerjaan lain yang lebih bisa menjamin, karena bunda cuma lulusan SMA. Mau lanjut kuliah pun gak ada waktu, karena harus cari uang sambil ngurus kami."

"Bunda juga gak mau anaknya lebih banyak ngabisin waktu sama orang lain daripada ibunya sendiri. Akhirnya sekitar delapan tahun lalu, bunda mutusin untuk usaha catering aja. Merintis dari awal sampai syukurnya sekarang udah bisa dibilang sukses. Hebatnya bunda gak ngeluh dan selalu berusaha meluangkan waktu untuk kami. Biarpun sibuk, kami tetap dekat sama bunda."

"Waktu SMP aku mulai punya uang sendiri dengan mengajar. Awalnya anak tetangga --teman-teman nya adikku, mereka belajar bareng dirumah, aku yang ngajar. Katanya nilai mereka jadi bagus setelah aku yang ngajarin, aku diminta ngajarin anak mereka lagi. Ada beberapa yang ngasih upah, entah itu makanan atau yang lain. Mereka mulai cerita-cerita ke kerabatnya. Makin banyak yang mau belajar sama aku dan gak sedikit juga yang ngasih upah dalam bentuk uang."

"Kelas sebelas, aku mulai cari kerja di kafe, kata temanku gajinya lumayan dan otakku juga butuh istirahat biar gak terus-terusan mikirin pelajaran. Agak susah juga cari tempat yang mau memperkerjakan anak SMA. Bunda sempat khawatir, tapi aku tetap maksa. Aku bilang aku suka apa yang aku lakuin, aku janji bisa ngatur diri sendiri dan sekolahku gak akan terganggu. Akhirnya bunda membebaskan, tapi tetap negur kalau aku udah kelihatan lelah."

"Aku bayar biaya sekolahku sendiri sejak SMA, gak mau nyusahin bunda. Bunda tetap kasih uang jajan, tapi uang itu aku tabung dan aku kasih adikku kalau dia butuh uang lebih dan gak berani minta ke bunda."

"Aku kuliah disini karena dari kecil aku pingin banget tinggal di negara bersalju. SMA akhirnya aku mutusin untuk milih Korea Selatan sebagai tujuan. Aku gak nyangka, bakal beneran ketemu kamu kayak gini." Jehan mengakhiri ceritanya dengan kekehan.

"Dan juga..." Jehan memeluk Haechan. "Aku mau ngucapin banyak-banyak terimakasih sama kamu, teman-teman kamu juga. Bahkan ketika kamu belum kenal aku, kamu udah jadi penyemangat hidupku."

"Makasih udah nemenin hari-hari sulitku. Tanpa kamu, aku mungkin gak akan ada disini hari ini. Kamu, kalian, banyak ngajarin aku untuk bertahan, kalian menyelamatkan aku. Seberat apapun masalahnya, Tuhan selalu punya rencana dibaliknya. Kita hanya perlu bertahan."

Haechan mengusap punggung Jehan dengan sayang. Jehan menyenderkan kepalanya di bahu Haechan, menikmati pelukannya yang bisa membuatnya merasa tenang.

Haechan mengecup puncak kepala Jehan. Jika tadi ia mengagumi cara Jehan memandang dirinya, sekarang Haechan mengagumi bagaimana Jehan bisa melalui hidupnya dan bertahan hingga sekarang. Di mata Haechan, Jehan adalah gadis yang tangguh, cerdas dan dewasa.

Sama seperti Jehan, Haechan tidak menyesal menaruh hatinya pada gadis itu. Semakin mengenalnya, semakin Haechan terjatuh pada pesona tersembunyi yang dimiliki Jehan.

~ Tbc ~

~🌹N

[1] So I Married My Idol ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang