Bagian Ketiga (2)

5 2 0
                                    

“Ayo, mana Dar...cepat berikan buku kamu,”mata elang Bu Ros menatap tajam Darren, dia kembali mengulangi perintahnya.

“Ta...tapi bu, untuk apa?nanti kalo saya butuh gimana?”balas Darren beralasan.

“Ibu cuma pinjam sebentar saja, nanti kalo udah selesai ibu kembalikan, sini berikan bukunya,”Bu Ros mengulurkan tangannya.

“Iya bu,”dengan terpaksa Darren mengeluarkan salah satu buku catatannya, sambil berharap agar Bu Ros tidak memeriksa tulisannya.

Setelah memberikan bukunya, Darren berjalan menuju kursinya, ditatapnya Boy yang duduk dua baris di belakangnya, yang ditatap hanya bisa mengangkat kedua bahunya, sebagai tanda tidak tahu.

“Huh...sial, ini kayaknya bakal dapet hukuman double nih,”gerutu Darren.

Beberapa menit kemudian Vivi masuk ke kelas, melakukan hal yang sama dengan Darren, yaitu memberikan tugas hukumannya pada Bu Ros, dan Bu Ros kembali memberi perintah untuk memberikan catatan Vivi padanya.

Setelah Vivi dan Darren selesai dengan hukuman mereka, pelajaran pun dilanjutkan kembali

“Tugas kalian hari ini kerjakan soal di halaman dua puluh sampai dua puluh satu, kerjakan di buku tulis, salin soalnya dan langsung jawab, kalau sudah selesai pelajari kerajaan-kerajaan yang sudah ibu jelaskan tadi, minggu depan ibu akan mengadakan quiz, sebelum ulangan harian,”tutup Bu Ros, sebelum meninggalkan kelas.

Dua jam sudah pelajaran sejarah berlangsung, kembali mencatat membuat tangan Vivi jadi kebas. Bel baru saja berbunyi pertanda istirahat, dia menghampiri Clara, berniat meminjam catatannya, untuk menyalin di rumah.

“Ra, gue pinjem catatan lo ya, pegel banget nulis...sue banget hari ini, beneran deh, udah telat dihukum terus sekarang harus nyatet lagi, tangan gue mulai kebas nih,”cerita Vivi, membuat Clara tersenyum. Pertemuan pertamanya dengan si gadis bermata sipit ini, memang dirasa kurang menyenangkan saat itu, tapi seiring berjalannya waktu, mereka menemukan kesamaan-kesamaan yang membuat dia dan Clara, jadi akrab, layaknya sahabat, dia selalu bercerita pada Clara, begitupun sebaliknya.

“Iya, nanti gue kasih pinjem, eh iya udah bel, ayo ke kantin, laper kan lo, daripada lo curhat melulu, ga kelar-kelar, mendingan isi perut kita hehehe...”Clara terkekeh, berdiri merangkul Vivi yang dibalas dengan tawa oleh keduanya.

Seperti biasa, kantin selalu ramai, tapi kali ini Vivi tidak sendiri, karena sudah ada Clara yang menemaninya makan. Sambil menyantap bakso kesukaannya, dia bercerita tentang kejadian tadi pagi pada Clara.

“Duh...kesel banget gue, sama itu cowok, pengen gue tusuk-tusuk kayak ini bakso,”Vivi menusuk baksonya dengan sekali tusuk.

“Hati-hati lo, jangan terlalu kesel apalagi sampe benci sama orang, bisa jadi cinta nanti, hahaha...”Clara tertawa lebar, meledek Vivi.

“Gue suka sama dia?ga banget deh...gila aja, slurrrppp...”kali ini Vivi menyeruput jus jeruknya

“Yah terserah deh, kita buktiin aja nanti, bener ga omongan gue, eh....tapi yah, asal lo tau biar begitu, dia itu juara kelas, dipuja wanita juga lagi, lo tau kan kalo tiap hari itu selalu ada tumpukan surat atau makanan, di loker dia atau di kolong meja dia,”Clara mencampurkan sambal dan kecap ke dalam soto mienya.

“Iya tau sih gue gosip itu, ya udah lah jangan bahas dia lagi, bikin selera makan hilang aja,”Vivi memajukan bibirnya.

“Yang bahas duluan kan lo, bukan gue,”balas Clara cuek.

Sementara Vivi dan Clara makan, di sisi lain Darren yang berniat ke kantin bersama teman-temannya, justru dipanggil Bu Ros, dia ditegur oleh guru sejarah itu, dan kembali diberikan hukuman, karena ketahuan tulisan tangannya, di lembar folio tidak sesuai dengan catatannya. Kesal karena kembali diberikan hukuman. Dia dan teman-temannya berencana mencegah Radit, saat pulang sekolah, siswa yang disuruh menggantikannya menerima hukuman.

“Eits...mau kemana, buru-buru aja nih,”cegat Boy di ambang pintu.

“Iya nih, ayo kita main dulu, jangan langsung pulang begitu aja,”Kenny merangkul Radit, cowok berkacamata hitam tebal dengan rambut klimis berbelah tengah, yang saat ini sudah gemetar ketakutan.
“Ikut kita ke belakang sekolah, now!”perintah Gio. Kenny menggiring Radit ke belakang sekolah, diikuti Darren dan teman-temannya.

Kenny mendorong Radit ke tembok, ruang kosong yang pernah digunakan sebagai gudang sekolah ini terlihat begitu kotor, tembok yang mengelupas disekelilingnya, dengan sepasang meja dan kursi, satu jendela berdebu, yang cukup membuat ruangan ini sedikit lebih terang di siang hari, serta beberapa tumpukan buku bekas yang berserakan di sudut ruangan.

“Lo pasti tau kan, kalo Bu Ros akan memeriksa tulisan Darren,”tuduh Boy mengintimidasi, Radit hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kalo ditanya itu JAWAB,”bentak Kenny tak sabar

“Sabar bro, gue tanya sekali lagi, dan lo harus jawab yang jujur, lo pasti tau kan kalo Bu Ros bakal periksa tulisan Darren, makanya waktu kita nyuruh lo kerjain hukuman Darren di UKS, lo mau-mau aja,”Gio menyilangkan kedua tangannya.

“A...aku...aku ga...ga tau...ka...kalo...bu...ros...ba...bakal...pe...periksa tu...tulisan Dar...Darren,”balas Radit tergagap-gagap, dia sebenarnya tahu, kalo Bu Ros akan memeriksa tulisan Darren, karena dia pun pernah terlambat dan diberi hukuman yang sama dengan Darren
Bruuukkkk...satu pukulan di pipinya membuat wajahnya biru lebam, Boy memukulnya cukup keras

“LO PIKIR KITA ANAK KECIL YANG BISA DIBOHONGIN,”bentak Boy geram, kalo tidak dihentikan teman-temannya mungkin dia sudah kalap memukul Radit hingga babak belur.

“Dit, mendingan lo ngaku deh, kalo lo ngaku kita ga akan perpanjang masalah lagi, gue yang janji nih sama lo, daripada lo bonyok sama sohib gue satu ini, udah emosi nih dia,”bujuk Gio

“Bener ya, kalian harus janji dulu, ga akan mukul aku lagi, kalo aku ngaku,”wajah Radit langsung berseri-seri.

“IYA,”teriak Gio dan Kenny serempak

“Oke, iya gue emang tau kalo Bu Ros akan periksa catatan Darren, karena gue pernah dihukum kayak Darren, gue ngelakuin itu buat kebaikan Darren juga, supaya Darren bertanggung jawab atas perbuatannya, jangan mengeluh dan malah meminta orang lain untuk memikul tanggung jawabnya,”jelas Radit, membenarkan letak kacamatanya.

Darren yang sejak tadi duduk, tersenyum sinis, berdiri dan berjalan perlahan menghampiri Radit, membuatnya gemetar ketakutan, sorot mata dia menakutkan,”Lo pikir lo itu siapa?kakak gue?papa gue?mama gue?sadar ga sih lo itu bukan siapa-siapa gue,”Darren meletakan jari telunjuknya di dada Radit, berbalik lalu berkata,”Beresin guys,”kembali berjalan dan duduk menonton.

BRUKKK...satu pukulan kembali diterima Radit, kali ini di perutnya, hingga membuatnya jatuh terduduk. Boy menarik kerah seragam Radit.

Bad Boy (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang