New School, New Spirit

16 1 0
                                    

"Semua barang-barangmu sudah siap, kan? Ada yang ketinggalan tidak? Coba pastikan sekali lagi!" seru mamaku. Sejak di rumah tadi, mama terus saja mengecek barang-barangku. Aku bahkan tidak ingat ini keberapa kalinya ia menanyakan hal itu.


"Duh, Mama, Sofi sudah memeriksa berkali-kali dari kemarin. Mama enggak usah khawatir deh. Lagian, rumah kita, kan, enggak jauh dari sini. Aku hanya perlu menghubungi mama kalau ada yang ketinggalan," aku berusaha menyakinkan mamaku yang rempong kalau terkait anaknya.


Wajar saja kelakuannya seperti itu, soalnya hari ini adalah hari pertamaku memasuki sekolah berasrama. Awalnya, mama tidak mendukung rencanaku untuk melanjutkan jenjang sekolah menengah ke sekolah berasrama. Dia ingin mengawasi pertumbuhanku dari dekat, katanya. Tapi, ingin menjadi mandiri sudah cukup untuk menjadi alasanku. Lagipula, aku bukan anak SD lagi yang harus terus bersama ibunya kapanpun dan dimanapun. Aku sudah menginjak kelas satu SMA. Mama harusnya mengerti itu.


Sebenarnya, sekolah baruku tidak terlalu jauh dari rumah, hanya beberapa kilometer saja. SMA Unggul 1 Pidie, begitu tertulis di gerbang masuknya. Tapi, lebih sering disingkat menjadi Smausa. Sekolah ini adalah salah satu sekolah favorit di provinsi Aceh. Sejak beberapa tahun lalu, sekolah baruku telah menduduki peringkat dua provinsi, sedikit selisih nilainya dibanding SMAN Harapan Bangsa Banda Aceh. Satu saja kekurangannya, Smausa terletak agak jauh dari ibukota provinsi. Kendati demikian, peminat sekolah menengah ini tidak pernah berkurang setiap tahunnya. Muridnya pun kebanyakan berasal dari luar kabupaten Pidie. Ada yang dari Aceh Timur, Kota Sabang, bahkan ada yang berasal dari Kota Subulussalam.


"Nak, baik-baik di sekolah barumu. Jaga nama keluarga, jangan sampai jatuh dan terinjak. Itu yang harus kamu junjung selama menuntut ilmu," mamaku tiba-tiba jadi puitis.


"Iya, Ma, iya," aku menanggapi dengan malas.


"Iyanya sekali saja,"


"Hehe..." aku nyengir, "yaudah, Ma, Sofi masuk dulu, ya! Dadah..." aku melambaikan tanganku dan melangkah menjauh perlahan, enggan berlama-lama membicarakan hal tidak penting.


"Nak, tunggu!" mama berteriak kencang. Beberapa orang di sekitar kami menoleh. Aku membalikkan badanku dan memasang muka masam. Apalagi nih, batinku. Mamaku malah berlari kencang dan memelukku erat, seolah anaknya akan mengikuti program pertukaran pelajar ke negeri nun jauh di sana. Aku tidak berdaya melepaskan pelukannya yang sangat erat. Papaku yang sedari tadi menonton drama kami dari dalam mobil hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan istrinya yang berlebihan. Papa tidak begitu berat melepaskanku. Sekolahnya, kan, dekat, dijenguk setiap hari pun tidak masalah, begitu mungkin isi pikiran papaku. Sedangkan, kedua adik kecilku cekikikan melihat muka masamku. Aku memelototi mereka dari kejauhan.


"Hati-hati, ya, Nak," akhirnya mama merenggangkan pelukannya. Aku hanya tersenyum paksa karena malas menjawab.


Aku melangkah cepat menuju asramaku, khawatir mama berubah pikiran dan memanggilku lagi. Kuseret koperku yang beratnya minta ampun. Di dalam komplek sekolah, panitia penyambutan murid baru yang merupakan para senior sudah menunggu juniornya. Saat aku sampai di pos penyambutan, seorang kakak kelas langsung mendekatiku.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PENTAGONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang