Sekolah dan Pandemi

11 0 0
                                    

Awalnya, berita ini nggak merata. si A sudah dapat, si B otw, si C nggak tahu, dan masih banyak lagi berbagai komentar mengenai berita ini. Apa, sih? Iya, sekolah dari rumah. Sayang, aku bukan termasuk dari golongan yang kutulis sendiri. Aku pasrah. Iya, pasrah, karena pada dasarnya aku juga nanti sudah ada rencana bolos. 

Awalnya, cukup melegakan bisa sekolah dari rumah. Apalagi penikmat keindahan kasur beserta kawan-kawannya. Bangun siang, tidak mandi, dan rebahan all day long sudah menjadi bayangan menyenangkan dalam benak. Lagi, aku tidak akan susah-susah lari dari parkiran gara-gara bapak ibu dosen sudah duduk manis di dalam kelas. Oh, dan bayangan menjadi kaya raya berhasil membuat aku lupa mengapa kita semua disuruh untuk sekolah dari rumah. 

Teorinya begini, jika aku mendapatkan uang saku di saat sekolah dari rumah, maka aku bisa menghemat biaya hingga 75% banyaknya. Bayangkan, berapa banyak album oppa yang bisa kubeli ditambah menyambangi konser di pertengah tahun nanti. Tapi rencana tetaplah rencana. Terlebih rencana manusia, yang kadang maksa untuk masuk di akal.

Kenyataannya adalah aku tetap sekolah dari rumah, bangun siang, rebahan, dan tetap terlambat masuk kelas. Sebuah fakta, bahwa jatah bolosku hanya sisa satu karena telat presensi. Dapat sindiran pula dari dosen cantik, "Kamu itu kalau aktif ya aktif sekali, kalau hilang kok ya lenyap, nggak kelihatan di bumi." Sederhana, karena setelah aku presensi, aku kembali tidur. Paling nyelekit adalah ketika uang jajan juga dipotong hingga separuh. Oke, jadi kaya hanya ilusi. 

Kembali ke awal. Aku merasa baik-baik saja ketika sekolah dari rumah. Namun, lama-lama aku menjadi resah sendiri. Selain jajan jadi tersendat, aku yang bodoh ini merasa semakin bodoh dalam menerima pembelajaran. Di kelas saja aku sering nyeleweng, apalagi via aplikasi telepon hijau? Kutinggal tidurlah. Belum lagi tugas yang tiada habisnya. Pengumpulan mendadak, revisi yang seperti dosaku, dan video praktikum yang harus penuh dengan intrik menggelikan.

Tapi, kembali ke awal. Aku merasa bahwa semesta sedang mengetahui keinginan terpendam dalam hatiku: tidur. Namun, bukan berarti semesta meng-iya-kan semudah itu. Ada uang, ada barang. Ada mujur, ada juga ajur. Kupikir sekolah dari rumah adalah salah satu bentuk dari jawaban semesta, bahwa aku harus menjadi diriku yang lebih baik. Menjadi seseorang yang mampu berpikir, bukannya sok mikir seperti hari kemarin. Bagusnya, dari ujung rambut sampai ujung jempol kakiku bisa diajak kerja sama untuk survive.

Intinya, sekolah dari rumah saat ini hanya perlu dinikmati dengan berpikir dari hati.

Kalau kalian, gimana?  

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 24, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Aku dan Se-Where stories live. Discover now