1. OK, Ayah

215 21 2
                                    

'Kadang, hal ternyaman itu adalah kesendirian'

***

Mencoba memaksakan diri untuk tersenyum itu susah, apalagi berusaha bersikap baik kepada orang-orang baru yang belum tentu baik sikapnya. Bagi Kiana, tidak ada kata manis diawal sebuah pertemuan karena yang ia tahu, bahwa semua Ibu tiri itu sama. Sama-sama keji, busuk, dan sifatnya antagonis. Bukan karena dirinya terlalu terbawa perasaan dalam menonton televisi, bukan. Namun faktanya memang begitu.

Dulu, saat SMP teman satu kelasnya mengalami menjadi korban tindak kekerasan dari Ibu tirinya. Bahkan dia pernah masuk rumah sakit akibat siksa demi siksaan yang didapat. Sampai kurus bak ranting pohon karena jarang dikasih makan selama ayah kandungnya merantau di kota orang.

Kini, sudah tak ada lagi kabar dari temannya itu. Terakhir kali satu tahun silam, bahwa teman yang sempat akrab dimasa SMP itu sudah bahagia disisi Tuhan. Nyatanya, semesta menyayangi temannya itu untuk tidak terlalu lama menanggung luka fisik dan batin.

"Ana, Ayah keluar sebentar sama Mama dan adek-adek. Titip rumah ya, kamu jangan kemana-mana," pesan Rifal pada Kiana, putri kandungnya.

Kiana tersenyum sinis. Ini yang menjadi alasan kuat rasa bencinya terhadap orang baru yang menyandang status sebagai Ibu sambungnya.

"Kalo pun aku kemana-mana, ada bi Murni yang jaga. Lagian ada Mang ujang juga," sahut Kiana santai. Gadis itu melirik angkuh kepada Marlina---Mama sambungnya.

Rifal menghela napasnya, pria itu mengangguk terserah. Pandangannya kembali terarah pada istri dan kedua anak tirinya.

"Yuk, kita berangkat!" Pria itu berujar penuh semangat kepada keluarga barunya. Membuat Kiana tersenyum pedih.

Di sini, ada hati yang tersakiti. Ketika sosok pahlawan dimasa kecilnya sudah tak lagi peduli padanya, maka hamparan kepiluan kini kembali hadir mengingat sosok penyayang dan lembut hatinya sudah direnggut oleh Tuhan. Tidak ada lagi dia yang menenangkan dirinya, dan tidak ada lagi tempatnya mengadu.

Kiana benar-benar sendiri, ia merasa sedih. Ia rindu Ibunya. Karena beliau satu-satunya penyembuh lara dihatinya.

Rifal menggandeng kedua putri tirinya, menuntun mereka menuju mobil yang sudah disiapkan. Disusul Marlina dibelakangnya.

Lihat, mereka seperti keluarga bahagia. Tawa dari gadis-gadis kecil itu sangat renyah, apalagi melihat senyum Rifal yang sepertinya lebar dari balik punggung tegapnya.

Kiana merasa miris dengan kehidupannya sekarang ini. Matanya terus terfokus pada genggaman itu.

Tangan itu, tangan yang pernah menggenggamnya ketika dirinya merasa takut saat menaiki sepeda. Tangan yang pernah mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, dan tangan yang pernah menghapus air matanya ketika ia menangis.

Kini, menangis pun tangan itu tak akan menghapusnya bahkan sampai meraung.

Kiana menghapus air matanya yang sudah mengalir tanpa diberi aba-aba, hingga punggung Ayahnya sudah tak terlihat lagi. Digantikan dengan deru mobil yang terdengar semakin menjauh. Ayahnya pergi, bersama orang-orang baru di kehidupannya tanpa dirinya.

Ia sendiri, benar-benar sendiri.

Gadis tujuh belas tahun itu kembali mengangkat sudut bibirnya keatas.

"Oke, Ayah. Keluarga barumu lebih penting dariku."

***

"Dek, yuhuuuu!"

"Abang ganteng dataaaang!"

"Abang datang."

"Bukain pintu dong, haus nih!"

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang