4. Nyusahin?

124 15 0
                                    

Fiki terus mengetuk pintu kamar Kiana berkali-kali. Cowok itu menyesal sudah menarik paksa sepupunya itu, pasti tangannya sangat sakit. Seharusnya ia tidak sampai sekasar itu. Ia benar-benar menyesal, dan sekarang ia siap menanggung semuanya. Pasti Kiana marah kepadanya, gadis itu pasti sangat enggan bertemu dengannya.

Fiki pantang menyerah, buktinya ia masih terus mengetuk pintu kamar Kiana. Namun tak ada sahutan dari dalam. Sampai akhirnya bi Murni---asisten rumah tangga datang menghampiri dengan raut panik.

"Den, den. Non Ana kenapa? Kok dari tadi enggak keluar-keluar. Padahal aden udah ketuk pintu," ucap bi Murni dengan nada panik. Dia panik karena tak ingin anak majikannya itu terjadi sesuatu.

Fiki menatap datar bi Murni. Dalam hati ia menghujat.

Lebay banget nih bi Murni, dia kira Ana kenapa-napa, gitu.

Bi Murni menatap Fiki dengan kerutan di dahi. "Loh, Den. Kok diem aja? Ayok ketuk lagi, kalo bisa dobrak aja pintunya kalo dikunci dari dalam."

Bastian semakin mendatarkan raut wajahnya. Ia tak ingin bercanda, oh ayolah! Mengapa bi Murni menyebalkan sekaligus menggelikan, sih?

Oke, abaikan saja bi Murni. Cowok jangkung itu kembali mengetuk pintu kamar Kiana.

"Na, ini abang. Buka pintunya dong!"

"Ana, dengerin gue dulu. Sini keluar."

"Non, Ana. Non, denger bibi 'kan?"

Fiki melirik bi Murni yang ikut-ikutan, ia membuang napasnya asal. Sampai-sampai pintu terbuka menampilkan Kiana yang sudah rapih dengan stelan casualnya.

"Non enggak kenapa-napa? Alhamdulilah, bibi kira terjadi sesuatu sama, Non. Makanya bibi kesini, ikut ketuk pintu soalnya khawatir sama Non," papar bi Murni sembari memegang pundak Kiana dan melihatnya dari bawah sampai atas.

Perlakuan dari bi Murni membuat Kiana bingung, sedangkan Fiki berdecak sebal.
"Bi, Ana baik-baik aja. Mending bibi bikinin aku minum," ujar Fiki meminta. Bukan apa, ternyata mengetuk-ngetuk pintu sambil berteriak itu menguras tenaga dan mengundang dehidrasi.

Bi Murni mengangguk. "Iya den."

Pandangan wanita itu tertuju pada Kiana yang sedari tadi seperti orang linglung. "Non, kalo gitu bibi ke bawah, mau buatin minumnya den Fiki. Non ... mau?"

Kiana menggeleng, "enggak bi." Bi Murni mengangguk lagi, lalu berlalu meninggalkan Fiki dan Kiana.

"Na, abang minta maaf sama lo. Kalo tangan lo luka, sini biar abang obatin," ucap Fiki tulus. Kali ini tatapan cowok itu berbeda, biasanya memperlihatkan raut jenaka kini hanya raut penuh bersalah yang dia tampilkan.

Kiana menggeleng. Gadis itu berjalan menuju bawah, mengabaikan Fiki yang terus meminta maaf.

Fiki mengusap wajahnya gusar. "Cewek kalo ngambek nyebelin ya, susah banget perasaan buat dimaafin."

Dengan cepat Fiki berlari mengejar Kiana. Posisi keduanya pun sama, berjajar sembari menuju ruang tamu.

"Na, maafin gue, ya."

"Ana, harusnya gue dong yang marah. Kenapa jadi elo, sih?"

"Gue tuh enggak suka ya, lo deket-deket sama cowok selain gue, bang Sen, sama bang Fenly."

"Lo itu milik gue, milik bang Sen, dan bang Fenly."

Seketika Kiana berhenti mendadak, membuat Fiki ikut berhenti. Gadis itu menatap Fiki intens, membuat yang ditatap seperti itu menjadi gugup.

"Apa maksudnya?"

"Gue milik kalian?"

Fiki mengangguk. "Ya. Lo itu tanggung jawab kami, lo adik kami. Jadi, kami berhak mengatur dan menentukan gimana yang terbaik buat, lo."

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang