6. Meet with him

104 13 0
                                    

Kerasnya kami, enggak salah. Itu bukti rasa sayang kami.

***

Yang terencana akhirnya terjadi, walau mendadak akan tetapi berhasil membuahkan. Kini, mereka---Kiana, Fenly, Shandy, dan Fiki berjalan menuju bibir pantai. Gaya keempatnya begitu kompak, memakai kemeja pantai dengan celana levis selutut dan dipadukan dengan sendal jepit.

Benar-benar terniat, mereka seperti merencanakan ini semua jauh-jauh hari. Padahal mendadak sekali.

"Sedikit panas, ya? Ah, ntar dulu." Fiki mengubek tas selempangnya, mengambil sesuatu dari sana dan memperlihatkan kepada tiga saudaranya.

"Nih, ada yang mau?" Ternyata sun-block. Fiki membawa krim pencegah hitam itu ternyata.

"Fik, lo serius beli gituan? Alay banget lo jadi cowok. Kalo item mah item, enggak usah royal," cibir Shandy. Pemuda berkacamata hitam itu menatap Fiki geli.

Yang ditatap menunjukkan deretan giginya, dia memakainya di area tangan, kaki, dan leher. "Sebenernya enggak, Bang. Mana ada gue beli beginian, malu lah. Orang ini gue ambil dari meja riasnya Mama. Lumayan, dari pada nganggur mending gue bawa, hehehe."

Fiki tertawa, sedangkan Fenly geleng-geleng kepala. Tak habis pikir dengan humor-nya Fiki.

"Dasar maling!" hardik Shandy.

Fiki menjulurkan lidahnya sambil memasukan kembali sun-block tersebut ke dalam tas selempangnya.

"Gue minjem atuh, Bang."

Lain lagi dengan Kiana. Gadis itu nampak diam, menikmati semilir angin pantai. Walau masih panas, rasa tenang dan nyaman itu tidak lepas begitu saja. Ia menikmatinya.

Kiana suka pantai, suka angin pantai, panasnya pantai, dan keramaian pantai. Baginya, pantai itu indah. Tempat yang ia difavoritkan sedari dulu, sedari ia masih dalam gendongan lembut seorang Ibu.

Gadis itu rindu masa-masa itu, masa dimana ia masih bisa merasakan pelukan hangat Ibu di pantai ini. Dengan air yang menjadi saksinya pun dengan burung-burung pantai sebagai pemanis suasana.

"Kalo gini lebih baik." Kiana merasakan ada sesuatu yang berada di atas kepalanya. Ternyata topi pantai.

Lantas ia mendongak, menatap Fenly yang juga menatapnya teduh. Cowok itu tak ambil posisi duduk, dia masih berdiri. Membungkuk guna menatap adiknya dalam.

"Kamu cocok pake itu, lebih baik pake aja. Panas soalnya," saran Fenly.

Kiana menurut, gadis itu kembali menatap lurus pemandangan laut di hadapannya.

"Makasih bang," ucap Kiana.

"Sama-sama."

Keadaan menjadi hening. Namun sepertinya tak berlangsung lama.

"Kamu lagi mikirin bibi, ya?" Kiana mengangguk.

Fenly menghela napasnya. "Na, kamu boleh rindu bibi, tapi jangan pernah mengharapkannya untuk kembali. Karena itu mustahil, hidup itu harus realita, dek."

"Kiana enggak berharap Ibu kembali, kok. Aku cuma rindu dengan suasana ini. Aku rindu Ibu yang peluk aku disini," papar Kiana.

"Karena aku pun tahu, mempertemukan seseorang dua dunia yang sudah berbeda itu sulit. Mustahil, kecuali sama-sama meninggal."

Fenly tersenyum tipis, dia mengusap puncak kepala Kiana lembut. Kebiasaan Fenly. Sederhana tapi manis.

"Woee, dua-duaan mulu. Kuy sini merapat, kita minum es kelapa muda!" seru Fiki sambil membawa satu buah kelapa muda di tangannya. Menyeruput air di dalamnya.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang