8. Hukuman yang mendebarkan

99 12 0
                                    

Kiana menghela napasnya lega ketika ia datang tepat waktu. Padahal ia mengira akan terlambat, mengingat ban motor Fiki bocor di tengah perjalanan. Untung saja di jalan masih ada angkot yang mau menumpangi dirinya dan mau diajak kebut-kebutan. Lupakan Fiki, abang sepupunya itu lebih memilih mencari bengkel daripada melanjutkan pergi ke sekolah. Anggap saja cowok itu bolos, dan Kiana merasa bodoamat.

Sampai di kelas, ternyata teman-temannya sudah memakai baju olahraga. Kiana menepuk keningnya, mengapa ia sampai lupa jika jam pertama olahraga? Jika mengingatnya tentu saja dari rumah ia memakai baju olahraganya.

"Na, kok lo enggak pake baju olahraga?" tanya Sarah.

"Malah pake eksekutif lagi," timpal Mawar.

Kiana nyengir lebar, gadis itu cepat-cepat duduk dan menggeledah tasnya. Mencari keberadaan baju olahraganya.

"Loh, baju olahraganya mana?" Kiana mendadak panik, ia terus mengobrak-abrik tasnya. Apa iya, jika dirinya lupa?

"Woi, disuruh pak Aji ke lapangan!" seru Jaka, si ketua kelas.

Semuanya pun beranjak untuk keluar kelas. Kini menyisakan Kiana, Sarah, dan Mawar.

"Na, gimana?"

"Baju lo ketinggalan?"

Kiana membuang napasnya kasar, menatap kedua temannya sedih. Ternyata benar, ia tak membawanya. Ini mungkin akibat bangun kesiangan, jadi ia lupa untuk memasukan baju olahraga ke dalam tasnya.

"Iya, gue lupa."

Sarah dan Mawar saling pandang, lalu menatap iba Kiana. Tak mungkin 'kan jika ikut olahraga tanpa mengenakan bajunya?

"Terus lo mau ikut olahraga?" tanya Sarah. Kiana menggeleng pelan, "kalo pun ikut pasti pak Aji larang. Tau sendiri dia orangnya gimana."

Dari nada bicaranya Kiana, gadis itu merasa pasrah. Ia mempunyai firasat buruk setelah ini, pasti akan ada hukuman dari pak Aji.  Mengingat guru olahraga tersebut anti dengan anak yang tidak disiplin seperti Kiana yang lupa membawa baju olahraga.

"Kalo lo enggak ikut, kita juga enggak." Sarah mengangguk menyetujui ucapan Mawar.

Mendengar itu, Kiana terkejut. "Enggak-enggak. Yang bener aja, lo pada mau dihukum pak Aji?!"

Mawar tersenyum tipis, ia merunduk dan merangkul pundak Kiana. "Kalo lo dihukum, itu artinya kita juga harus dihukum."

"Satu kena, ya semuanya juga ikut kena." Sarah menimpali. Gadis yang duduk di sebelah Kiana itu ikut merangkul pundak kanannya.

"Karena itu jalan pertemanan kita," ucap keduanya bersamaan diakhiri tawa. Membuat Kiana merasa tersentuh, ternyata masih ada ya teman seperti mereka. Yang rela berkorban hanya untuk teman satunya.

"Jangan, ini salah gue. Kalian enggak boleh kena hukum, walaupun solidaritas itu tertanam di pertemanan kita. Tapi please, untuk sekarang bukan saatnya kalian tunjukin," papar Kiana.

"Biarin gue kena hukum, lagian ini kesalahan gue yang lupa buat bawa."

"Kalo kalian keras kepala, gue jamin lo pada bukan temen gue lagi," ancam Kiana.

Mawar dan Sarah hanya bisa pasrah.

***

Di lapangan sudah ada pak Aji yang tengah menginterupsi murid kelas X MIPA 1 dan MIPA 2 berbaris. Kiana, Sarah, dan Mawar berjalan ragu untuk mendekati barisan. Mereka takut pada pak Aji yang terkenal killer itu, beliau tak segan-segan untuk memberikan hukuman kepada siswa yang melanggar aturan belajarnya.

Ketika sampai, Mawar membisikkan sesuatu pada Kiana. Gadis itu memberi semangat lewat bisikan tersebut dan jangan lupa dengan Sarah yang ikut berbisik untuk mengingatkan pada Kiana berdo'a sebelum menghadap pak Aji. Harap-harap hukuman yang didapat itu ringan.

"Na, semangat."

"Jangan lupa do'a, Na."

Kiana tersenyum menanggapi kedua sahabatnya. Mereka sudah masuk dalam barisan, kini tinggal dirinya untuk melapor diri tidak membawa seragam olahraga.

"Pak," panggil Kiana sudah berada di dekat pak Aji. Sebagian teman-teman sekelasnya, menatap dirinya.

Pak Aji menoleh, pria itu menatap tajam Kiana. Baru saja panggil, matanya sudah ingin keluar. Bagaimana bisa Kiana tidak gemetar?

"Ada apa, kenapa kamu belum pake baju olahraga?!" Tidak teriak tidak. Hanya saja nada bicaranya seperti membentak.

Rasanya untuk mengatakan sesuatu sangatlah sulit, mungkin karena efek gemetar Kiana yang tengah menghadap pak Aji.

"Anu pak, euh ... saya lupa enggak bawa baju olahraga," jujur Kiana. Gadis itu meremas bagian samping rok span-nya, sebagai pelampiasan rasa takutnya.

"Kenapa bisa?!"

Kiana memejamkan kedua matanya sebentar lalu membukanya kembali, ternyata begini rasanya dibentak pak Aji. Setelah ini, Kiana janji tidak akan mengulanginya lagi. Besok-besok, baju olahraga ia simpan saja di loker.

"Sekarang, kamu enggak usah ikut jam saya. Kamu akan saya beri sanksi," tegas pak Aji. Pria itu mencatat sesuatu pada buku absensinya.

"Kamu saya beri alfa," tandasnya.

Kiana membelalakan matanya, begitupun Sarah dan Mawar dari dalam barisan.

Hendak protes, pak Aji sudah lebih dulu berkata, "dan sanksi-nya kamu harus membersihkan ruang olahraga. Di sana kamu bersihkan semua peralatan olahraga sampai bersih!"

"Jika sudah, kamu bisa datang ke saya sebagai laporan."

Berkali-kali Kiana menelan ludahnya sendiri, bukan apa, ia sangat menyayangkan dirinya di alfa begitu saja. Ingin protes pun tidak bisa, Kiana terlalu takut.

Sampai seseorang datang, mengaku dirinya terlambat. Sontak atensi Kiana teralihkan. Yang tadinya ketakutan mendadak rasa takut itu menghilang.

Ya, sosok itu Fajri. Siswa kelas X MIPA 1.

"Pak, maaf saya terlambat," ucapnya santai. Bahkan sampai tidak lupa dengan senyum sopannya.

Pak Aji menatap sinis Fajri. "Kamu lagi, kenapa bisa terlambat?!"

"Maaf, tadi sebelum berangkat saya mengantar Ibu saya ke butik, maaf juga saya lupa enggak bawa baju olahraga."

Fajri melirik Kiana yang sedari tadi menatapnya, dia melemparkan senyum tipisnya membuat Kiana cepat-cepat memalingkan wajahnya.

Pak Aji mengacak rambutnya, guru itu seperti frustasi.

"Kalau begitu, kalian berdua bersihkan ruang olahraga sampai bersih!"

"Jangan sampai ada debu sedikitpun!"

"Lakukan selama pelajaran saya berlangsung!"

***

Ruang olahraga. Fajri dan Kiana berada, mereka sama-sama membersihkan tempat tersebut dari debu-debu yang menempel pada setiap peralatan. Keduanya sama-sama sibuk, sama-sama bungkam seperti dua insan yang tak saling kenal.

Dengan Kiana yang membereskan bola-bola volly di tempatnya dan Fajri yang sibuk dengan mengelap beberapa bola basket.

Tiba-tiba Kiana mengaduh kesakitan, gadis itu tak sengaja membentur lemari yang berisi piala-piala usang. Keningnya memerah. Cepat-cepat Fajri menghampirinya.

"Na, kamu kenapa?" tanyanya sedikit khawatir.

Kiana menatap Fajri, ia tersenyum. "Eum ... enggak pa-pa," elaknya.

Fajri melepas lap ditangannya, lalu tangannya menyentuh tangan Kiana yang menutupi keningnya. Dia menyingkirkannya, hingga menampilkan kening Kiana yang memerah.

Perlakuan Fajri membuat Kiana susah bernapas, cowok itu nampak berani sekali menyentuhnya.

"Kening kamu merah, aku ada sesuatu," ucap Fajri sambil merogoh saku celananya. Ternyata hansaplast, cowok itu menempelkan plester luka tersebut di kening Kiana dengan pelan.

"Gimana, mendingan?" tanya Fajri lembut.

Manis sekali. Jantung Kiana berpacu dengan cepat, keduanya saling pandang dan melemparkan senyum masing-masing.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang