9. Siraman Rohani

92 11 0
                                    

Setelah melaksanakan hukuman, Kiana menemui pak Aji untuk melapor jika dirinya sudah melaksanakannya. Di temani Fajri yang pastinya. Sebenarnya Kiana juga sedikit salah tingkah, ia sendiri merasa ada kupu-kupu terbang di sekitar perutnya. Entah mengapa pengaruh seseorang yang ia sukai bisa membuatnya seperti ini.

Ternyata, hukuman membersihkan ruang olahraga itu bukan satu-satunya hukuman. Lihat saja pak Aji, pria itu dengan mudahnya memberikan selembar kertas berisi nama-nama guru mapel sekolah untuk di tanda tangani.

"Kalau kalian ingin tidak alfa, ada satu syarat. Kalian harus meminta tanda tangan kepada semua guru di sini, jika tidak terpaksa saya alfa 'kan kalian hari ini," ucap pak Aji tegas.

"Waktu kalian sampai pulang sekolah, kalo tidak terselesaikan terpaksa kalian saya alfa."

Terus saja seperti itu. Pak Aji lama-lama seperti bu Martha, guru Fisika kelas sepuluh. Tidak bisa dinegosiasikan dan tidak bisa terelakkan.

"Gimana kalo kita ke ruang guru?" Di perjalanan menuju kelas Fajri bertanya, membuat Kiana menatapnya bingung sekaligus deg-deg-an.

"Kenapa ke sana?"

"Kita mintai tanda tangan mereka," kata Fajri yakin.

"Bentar lagi masuk, Ji."

"Cuma lima belas menit lagi, cukuplah buat minta tangan."

"Ya, walaupun cuma dapet dua tanda tangan sih," lanjutnya.

Sebenarnya Kiana mau, 'kan ke sananya juga bareng gebetan. Kesempatan dirinya untuk terus berdekatan dengan Fajri.

"Gimana, mau?" Cowok itu seperti antusias, dengan caranya tersenyum serta wajahnya yang sumringah.

Kiana menggeleng pelan. "Aku mintanya pas istirahat ke dua aja deh, soalnya mau masuk takut telat ke kelasnya," balas Kiana tak enak hati.

Fajri melunturkan senyum semangatnya, digantikan dengan senyum tipis. Lalu mengangguk pelan. "Oh, Ok. Kalo gitu, aku mau ke ruang guru duluan, boleh?" tanyanya.

Kiana mengangguk. "Boleh."

Mengapa anggukan tersebut menimbulkan perasaan kecewa di hati Fajri? Ada apa dengan Fajri, dan ada apa dengan hatinya?

***

Sarah dan Mawar berpamitan untuk pulang mendahului, menyisakan Kiana yang masih berkemas-kemas di kelas. Mengemasi seluruh peralatan sekolahnya.

Kiana mendengar ponsel terjatuh, ternyata bukan hanya dirinya di kelas ada Gilang juga dan ponsel Gilang-lah yang terjatuh. Cepat-cepat cowok itu mengambil dan mengecek ponselnya rusak atau tidak kira-kira.

"Ponsel mahal mah kalo jatuh enggak bakal rusak, Lang." Kiana berujar, gadis itu berniat bergurau pada Gilang agar suasana kelas tidak terlalu hening dan seram.

Namun dugaan Kiana salah besar, jika dulu Gilang akan membalas gurauannya dengan kalimat-kalimat menjengkelkan sekarang tidak berlaku lagi. Cowok itu hanya diam tak merespon ucapan Kiana.

Jika dulu Gilang akan mengajaknya baku hantam, sekarang tidak. Kiana baru menyadari perubahan itu. Gadis itu merasa Gilang belakangan ini berubah kepadanya semenjak pasca baku hantam dengan abangnya.

Sekarang ia mengerti sebab berubahnya Gilang kepadanya.

"Lang," panggilnya ketika Gilang berjalan menuju pintu kelas.

"Gue minta maaf sama lo," ujar Kiana.

Gilang menoleh sekilas, lalu mengabaikan ujaran Kiana dengan berlalu dari kelas begitu saja. Meninggalkan Kiana yang merasa kehilangan sosok ramai itu.

Walaupun ia tak sedekat Mawar dengan Gilang, tapi rasanya di cuekin itu tidak enak. Ia jadi merasa punya masalah dengan cowok itu.

"Ada apa sama lo, Gilang?"

"Kenapa lo kayak menghindar?"

Dan Kiana paham betul dengan semua ini. Jika Fiki tidak berulah, maka Gilang tidak seperti sekarang. Ya, Fiki-lah penyebabnya.

***

"Kiana mana?!"

Shandy berjalan tergesa menuju kamar sepupunya, membiarkan bi Murni yang terbengong-bengong melihat pemuda itu yang kesetanan. Sampai tak menyadari jika dasi kantornya terlepas dan jatuh ke bawah.

Bi Murni memungutnya, menatap keponakan majikannya yang sedang menaiki satu persatu anak tangga.

"Den! Dasinya jatuh!"

Not hear. Shandy tidak mendengarnya.

Wanita paruh baya itu memutuskan menyimpan dasi tersebut, biarkan saja. Nanti juga Shandy mencari kepadanya.

Sementara di atas, di kamar Kiana sudah ada Shandy, Fenly, dan Fiki. Mereka sama-sama menatap tajam Kiana yang menunduk. Seolah mereka adalah polisi yang akan menginterogasi si pelaku pedagang borax.

"Udah tinggal ngaku aja sih, itu jidat kenapa sampe di plester segala," ujar Fiki menatap adiknya dengan tatapan memojokkan.

"Ini enggak kenapa-napa, kok. Cuma habis kejedot pintu," jawab Kiana sesantai mungkin.

"Enggak kenapa-napa kamu bilang?" Kiana menatap Shandy yang menatapnya tak percaya.

"Yaampun, Ana! Kamu itu terluka, luka kayak gitu kamu anggap sepele? Nanti kalo infeksi gimana, mau dibawa ke rumah sakit, hm?"

Fiki mengangguk setuju dengan ucapan Shandy, sementara Fenly seperti biasa hanya diam, menyimak saja.

"Yaudah sih, Bang. Orang enggak berdarah cuma merah doang, masa sampe masuk rumah sakit sih."

"Cuma merah doang?! Kamu pikir abang ke sini enggak panik, Na? Demi kamu abang rela batalin temu client hari ini, dan kamu anggap sepele sama keadaan kamu?!"

Kiana meringis mendengarnya. Bukankah ini terlalu berlebihan? Abang sepupu tertuanya itu lebih lebay dari Fiki ternyata. Hanya karena luka kecil yang tak berdarah saja sampai membatalkan temu client begitu saja. Apakabar jika dirinya meninggal? Tentu saja gedung perusahaan milik paman Ferdi di jungkir balikan.

"Bang...."

"Udah ngaku aja Na, jidat lo merah kenapa. Pasti ada sebabnya dong, enggak mungkin tiba-tiba ada akibat kalo enggak disertai sebab," kata Fiki sedikit membawa-bawa kiasan pelajaran bahasa Indonesia.

"Abang enggak habis pikir sama kamu, Na." Shandy memijat pelipisnya.

Kiana bergumam tidak jelas, harusnya dirinya yang tidak habis pikir dengan Shandy. Hanya di kabari dua abangnya soal keadaan dirinya saja rela meninggalkan kantor, meninggalkan pekerjaan. Dasar kurang amanah.

"Na, abang butuh kamu jujur."

Entah mengapa, setiap perkataan yang muncul dari mulut Fenly selalu saja membuat Kiana luluh. Seperti ada daya tarik tersendiri ketika adik kandung Shandy itu berkata padanya.

Kiana menghela napasnya pasrah, lagi pula apa pun rahasia yang disembunyikan jika sudah waktunya terkuak ya terkuak. Ibarat kamu menyimpan bangkai kucing di dekat rumah, pasti tetangga bisa menciumnya.

"Aku ke bentur lemari piala ruang olahraga," jawabnya pelan.

"Ngapain kamu di sana, Na?" tanya Fenly.

Gadis itu menatap ketiga abangnya yang menatapnya penasaran, jika ia jujur karena sedang melakukan hukuman, apalagi bareng Fajri yang statusnya cowok. Dimana di kamus ketiga abangnya, dirinya dilarang keras berdekatan dengan cowok selain mereka. Sudah dipastikan kamarnya yang jadi sasaran mereka.

"Ngambil volly, Bang. Di suruh pak Aji," aku Kiana. Dalam hati ia berteriak minta maaf karena sudah berbohong.

"Lain kali hati-hati, jangan bikin abang khawatir, Na." Shandy berucap demikian.

"Terus juga jangan sepelekan sesuatu," tambah Fiki.

"Usahakan jujur," timpal Fenly.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang