10. Sedikit Ganjal

84 11 0
                                    

Tengah malam Kiana terbangun. Gadis itu mengubah posisi tidurnya menjadi duduk dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mengatur penglihatannya agar segera normal. Setelah itu, Kiana melirik jam weker miliknya di nakas yang menujukkan pukul dua belas malam.

Lalu ia memutuskan bangkit dan berjalan keluar kamar, menuju dapur untuk minum agar tenggorokannya tidak kering. Namun, baru setengah perjalanan ia mendapati kamar Ayahnya yang terbuka sedikit. Membuatnya bingung sekaligus penasaran, karena setahunya jika Ayahnya tidur pasti pintu kamar tertutup dengan rapat. Apakah baik Ayah atau wanita yang menjadi Ibu sambungnya itu terbangun dan pergi menuju dapur?

"Ngapain juga gue kepo," gumam Kiana sembari menguap. Ia masih mengantuk.

Tiba di dapur, ia menemukan bi Murni yang tengah membuat sesuatu.

"Bi, bibi lagi, ngapain?" Bi Murni menoleh, ia tersenyum menatap putri majikannya itu. Lalu menunjuk satu gelas kopi yang sedang dia sediakan.

"Ini Non, bibi buat kopi."

Kening Kiana mengernyit. "Bibi kok tumben banget bikin kopi? Tengah malem lagi," ujar Kiana. Gadis itu tetap di posisinya, berdiri di samping bi Murni.

"Iya nih, bukan buat bibi, kok." Yang Kiana lihat, raut wajah bi Murni berubah menjadi merah. Ada apa dengannya?

"Kalo bukan buat bibi, terus, buat siapa?" tanya Kiana penasaran. Pasalnya bi Murni seperti menahan senyum, apalagi wajah wanita paruh baya itu semakin memerah. Bahkan hidungnya kembang kempis.

"Euh ... buat ... buat," balas bi Murni terputus-putus.

"Buat?"

"Buat mang Ujang, Non." Bi Murni mesem-mesem tidak jelas, membuat mata Kiana melebar. Asli, seketika kantuknya menghilang. Ia baru ingat, jika di rumahnya ini ada seseorang yang mampu membuat bi Murni salah tingkah seperti ini.

Seseorang itu Mang Ujang, penjaga gerbang rumahnya sekaligus supir pribadi keluarganya. Mereka seperti terjebak akan sebuah kisah. Namun bukan kisah remaja dan bukan kisah cinta remaja baru dewasa. Meskipun dia sudah tak muda lagi, tapi bagi Kiana ini adalah hal yang lumrah. Karena bagaimanapun keduanya berstatus single parents.

Mang Ujang yang telah bercerai dengan istri pertamanya. Pun dengan bi Murni yang menjanda akibat suaminya meninggalkan dirinya belasan tahun silam.

Gadis dengan piyama motif kupu-kupu yang melekat di tubuhnya itu tersenyum menggoda, menatap bi Murni geli.

"Ah, bi Murni sosweet banget sih, perhatian deh sama mang Ujang," goda Kiana.

Bi Murni tersenyum malu-malu. "Aduh non, jangan begitulah, bibi malu atuh. Jangan di ledek."

"Ciee ... ciee bi Murni!"

"Non udah ya, Non. Jangan gitu."

"Cieeeee!"

"Udahlah non, bibi ke depan dulu, permisi." Setelah itu bi Murni kabur menuju pos satpam depan tempat mang Ujang bertugas sambil membawa kopi hitam tersebut, meninggalkan Kiana yang tertawa puas melihat tingkah bi Murni seperti anak remaja ke-gap kepo-in doi. Lucu sekali.

"Bi Murni ... bi Murni, ada aja dah."

Kiana mengambil satu gelas air putih dingin dari dalam lemari es, dan meneguknya sampai habis. Tak lama ia merasakan sesuatu dari dalam perut, ternyata cacing dalam perutnya itu protes ingin diberi makan.

"Harus banget ya, tengah malem laper gini?"

***

Pukul 01:35 WIB dini hari. Kiana keluar dari dapur, sambil mengelus perutnya yang kenyang. Berjalan menuju kamarnya, dan yang pastinya kembali melanjutkan tidurnya. Rasanya nikmat sekali jika perut sudah terisi, apalagi kantuk menyerang. Pasti tidur pun pulas.

Langkah kakinya tiba-tiba saja terhenti, menatap objek yang kini tengah berdiri di depan sebuah ruangan rahasia keluarga. Dia Marlina, Ibu sambung Kiana.

"Sedang apa dia?"

Kiana menajamkan penglihatannya, jarak antara dirinya dan Ibu tirinya itu sekitar sepuluh meter. Wanita itu tidak menyadari kehadirannya, mungkin karena wanita itu tengah sibuk berkutat dengan ponselnya.

Jadi, mengapa pintu kamar Ayahnya terbuka sedikit itu karena ini?

Sebenarnya apa yang dia lakukan di situ?

Mengapa harus sekali berdiri di depan ruangan itu?

Karena penasaran, Kiana mendekat. Matanya menangkap Marlina tengah menghubungi seseorang. Namun sepertinya seseorang yang Marlina coba hubungi itu tak kunjung mengangkatnya.

"Apa yang tante lakuin, di sini?"

Suara Kiana mampu membuat Marlina terkejut bukan main. Wanita modis itu gelagapan, menatap putri tirinya canggung. Membuat yang ditatap merasa heran sekaligus curiga.

Curiga, apakah wanita ini tengah berselingkuh dari Ayahnya?

"O--oh, Mama lagi h--hubungin temen, iya temen," alibi Marlina gugup. Saking gugupnya ponsel yang di pegang itu hampir jatuh jika tidak di letakkan di saku.

Kiana bukan gadis bodoh dan bukan anak kecil lagi yang mudah dibohongi, ia tahu mana jawaban yang jujur dengan yang bohong. Dan sekarang jawaban yang ia terima adalah kebohongan, pasti ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan.

"Dini hari begini hubungin temen? Enggak salah, nih?"

"Terus, harus banget ya, di sini?" tanya Kiana dengan nada tak suka andalannya.

Bukan apa-apa, tempat ini sangat rahasia. Hanya dirinya, kakaknya, Rifal, dan almarhumah yang tahu.

Marlina tersenyum kaku, "i--iya, Na. Emang kenapa?" tanya Marlina balik.

Kiana memutar kedua bola matanya malas, ia malas untuk berlama-lama di sini. Entah mengapa tingkah wanita itu membuat Kiana jengah. Mengapa Marlina bertingkah seolah dia baik dan tulus kepadanya, bahkan menurut Kiana sikap Ibu tirinya itu dibuat-buat seolah dia juga sayang kepadanya seperti sayang kepada kedua putri kandungnya.

"Enggak," jawab Kiana sedikit ketus.

Gadis itu menatap Marlina intens, mencoba mencari sesuatu yang wanita itu sembunyikan.

"Eum, Ana. Mama ke kamar dulu, ya?" Marlina berpamitan.

"Kenapa?"

Kaki Marlina seperti ditarik kembali, hendak melangkah namun diurungkan dengan pertanyaan putri tirinya.

"Iya?"

"Udah selesai dengan urusan tante sama temen, tante?"

Marlina menarik senyum paksanya. "Iya, sayang. Udah," balasnya.

"Tante enggak lagi bohong 'kan?" tanya Kiana mengintimidasi.

Marlina diam. Wanita itu sedikit tersinggung dengan panggilan Kiana. Seharusnya gadis itu memanggilnya dengan sebutan 'Mama' seperti anak-anaknya yang memanggil Rifal 'Papa'. Mengapa rasanya sulit sekali gadis itu menghargai akan posisinya?

"Tante?"

Marlina tersadar dari lamunannya, "ah, iya. Mama enggak bohong, kok, Na. Kalau begitu Mama duluan ke kamar."

Kiana menatap punggung Marlina yang sudah menjauh. Ia merasa janggal dengan tingkah Marlina. Ia menjadi sangat yakin jika Ibu sambungnya itu menyembunyikan sesuatu darinya. Pasti ada sesuatu yang dia rencanakan.

Lalu, tatapan Kiana jatuh ke depan---ruang rahasia milik keluarganya. Harap-harap, Marlina tidak mengetahui ruangan tersebut, dan keberadaan wanita itu di sini hanya kebetulan saja. Ya, semoga.

Ia mendekat dan mengeceknya, ternyata aman. Ruangan ini masih terkunci rapat.

Kiana menghela napasnya lega, "ternyata cuma kebetulan."

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang