11. Surat, Tulip, dan Novel

83 11 0
                                    

"Belajar yang bener. Jangan deket-deket sama cowok, siapa pun mereka kalo jenisnya cowok ya kamu hindari, paham?"

Kalimat yang terkesan memaksa dan terdengar aneh di telinga Kiana. Seumur-umur ia selalu dihujani dengan kata-kata tersebut oleh ketiga abangnya. Entah apa alasan mereka berlaku seperti itu, tapi satu yang gadis itu tahu. Mereka begitu karena sayang padanya.

Tapi, apakah itu tidak terlalu berlebihan?

"Paham, Bang."

"Jangan lupa plester-nya di ganti, abang liat dari semalem itu plester enggak diganti-ganti, nanti infeksi, Ana." Shandy menatap cemas adik sepupunya itu.

Kiana menghembuskan napasnya. "Iya bang," balasnya.

"Senyum dong, jangan di tekuk gitu mukanya. Abang baru bisa antar kamu berangkat loh ini. Masa dari tadi muka kamu suram terus enggak ada senyum-senyumnya."

"Enggak seneng kamu abang yang anter, iya?"

Kiana terkekeh melihat raut wajah Shandy yang terlihat lucu, raut wajah merajuk pemuda itu benar-benar jenaka.

"Enggak kok, Ana seneng abang, ih."

Shandy tersenyum, menepuk puncak kepala Kiana dua kali. "Bagus kalo gitu. Udah sana gih keluar," usir Shandy.

Kiana melunturkan senyumnya, ia menatap Shandy datar. "Jadi, abang ngusir aku, nih?"

"Enggak, maksud abang kamu buruan masuk nanti telat. Bentar lagi jam tujuh, Na." Shandy memperlihatkan arloji miliknya pada Kiana, agar gadis itu percaya akan ucapannya.

Kiana menghela, "iya deh. Ana duluan, Bang." Gadis itu menyalimi tangan Shandy sebagai bentuk rasa hormat.

"Assalamualaikum, abang Jamal!"

"Walikumsalam."

Shandy menggeleng pelan, Kiana ada-ada aja. Panggilan sewaktu masih kecil padanya masih saja di ungkit.

Sedangkan Kiana, gadis itu berjalan dengan santai melewati gerbang sekolah yang sudah ada beberapa anggota Osis tengah menjadi giliran untuk menghukum siapa saja siswa yang terlambat.

Karena merasa ada yang memperhatikan, Kiana menoleh ke arah gerombolan anak Osis. Ternyata dia yang sedari tadi menatapnya. Tatapannya begitu dalam, membuat Kiana lupa caranya bernapas.

Maulana Fajri. Salah satu anggota Osis itu terus menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Begitu dalam dan tidak melupakan senyum tipis dari bibir menawan cowok itu.
Kiana terlena dengan tatapan tersebut, ia ikut mendalami tatapan dari Fajri. Hingga ia tak sadar jika dirinya tengah berjalan dan menabrak seseorang.

"Eh, maaf."

Dapat di dengar seseorang yang Kiana tabrak berdecak. Buru-buru gadis itu mendongak, menatap siapa yang barusan ia tabrak. Ternyata Gilang, teman satu kelasnya yang belakangan ini berubah.

"Lain kali kalo jalan tuh liat-liat!"

Kiana meringis mendengarnya, "i--ya sorry, gue enggak sengaja," balasnya.

Setelah berkata barusan, Gilang berlalu begitu saja tanpa ada basa-basi lagi seperti sedia kala. Kiana menghela napasnya pelan. Gadis itu penasaran, apakah Fajri masih menatap gerak-geriknya atau sudah tidak.

Tidak, Fajri masih setia menatapnya dari jauh. Kali ini dia tidak menyertai senyum, hanya tatapan datar namun menyejukkan di hati Kiana. Sebenarnya, apa arti dari tatapan Fajri padanya?

***

Bel istirahat berbunyi, waktunya untuk para siswa maupun siswi beristirahat. Kiana, Mawar, dan Sarah masih di tempat duduk mereka. Seakan enggan untuk beranjak ketiganya lebih memilih mengobrol ringan.

"Serius nih enggak pada ngantin?" Mawar bertanya pada kedua sahabatnya, lalu yang dia dapat sebuah gelengan dari keduanya.

"Emang kenapa, lo laper?"

"Enggak, Rah. Cuma nanya," jawab Mawar datar.

"Oh."

Mawar mendengkus pelan, padahal dia sudah mengkode keduanya dengan pertanyaan, masa mereka tidak peka, sih. Perutnya lapar, perlu diisi. Mau ke kantin mager, soalnya tidak ada yang menemani.
Mau ke sana sendiri, bukan dirinya banget.

"Kalem aja, Na. Soal nilai kita bisa raih yang lebih tinggi."

"Jangan terlalu kecewa."

"Iya sih, tapi kesel juga sama bang Fenly waktu itu, gara-gara dia tugas kelompok kita enggak maksimal."

Keduanya berlarut dalam percakapan, mengabaikan Mawar yang sedari tadi menyimak saja. Gadis itu sangatlah bosan merasa di posisi seperti ini, diabaikan. Sampai matanya menemukan sebuah titik objek yang mampu mengalihkan atensinya.

"Na, laci lo ada apanya?"

"Lo bawa kado?"

Kiana terkejut dengan ucapan Mawar, ia segera mengecek lacinya. Matanya melebar melihat sebuah kotak berukuran sedang dengan kertas kado motif batik yang menyelimuti kotak tersebut.

Bukan cuma kotak saja, tetapi ada setangkai bunga tulip warna merah diatasnya.

"Wih, Na. Bunganya bagus banget!" heboh Mawar. "Sosweet juga nih yang ngirim!"

"Gila, ini dari siapa tuh?" Kiana menatap Sarah sembari menggeleng kepadanya tidak mengerti.

"Gue kan lagi enggak ulang tahun," gumam Kiana.

Mawar bangkit dari duduknya dan mengambil bunga tulip di tangan Kiana. "Minjem dong! Ini bagus banget, gue suka!" Gadis itu menghirup aroma bunga tersebut, seolah tulip itu mainan yang di semprot minyak wangi.

Sarah berdecak, "sekali aja lo yang sopan kek, srudal-srudul mulu perasaan."

Mawar sih bodoamat. Yang dia fokuskan adalah bermain dengan kamera ponsel, memoto dirinya bersama bunga tulip Kiana. Mengabaikan rasa lapar yang sedikit menghilang.

Kiana memutuskan membuka kotak tersebut, setelah dibuka ternyata di dalamnya terdapat  surat dan novel bestseller yang populer di tahun ini. Senyum senangnya terpancar, ini buku incarannya. Buku yang selama ini ia idamkan. Terlalu sulit untuk mendapatkannya.

Berkali-kali ia datang ke toko buku terdekat bahkan sampai toko online pun, buku tersebut laris manis diborong oleh antusiasme pembaca buku bestseller tersebut.

Lihat sekarang, buku incarannya itu sudah ada di genggaman mata, di depan mata. Siapa sih, si baik hati pengirim barang kesukaannya ini? Jika sebentar lagi Kiana bertemu dengannya, ia akan sangat berterima kasih sebanyak-banyaknya pada orang itu.

"Waaah, ini 'kan favorit lo, Na!" pekik Sarah. Gadis itu pun sama senangnya melihat novel tersebut, karena bagaimanapun dia pernah membacanya di platform media sosial.

"Iya, gue juga enggak nyangka ternyata nih novel berada di genggaman gue!"

"Berasa mimpi tau enggak."

"Tapi, kira-kira siapa ya, pengirimnya?" Kiana dibuat penasaran dengan si pengirim.

"Jangan-jangan ini dari secret admire, lo?" tebak Sarah.

Kiana terkekeh. "Ya kali secret admire. Emang gue terkenal," sangkal Kiana. Dalam hati ia tertawa mendengar ucapan Sarah yang menurutnya ada-ada saja.

"Ya, siapa ta, Na."

"Eh Na, suratnya tuh. Buka dong, kali aja ada tanda pengirim."

Perlahan Kiana membuka sepucuk surat tersebut.

Tulip, buat kamu yang suka sama bunganya.
Novel, buat kamu yang suka membacanya.
Satu lagi, semoga kamu menyukainya.

-- Dari aku, Mr.M

Kiana mengerutkan keningnya selepas membacanya, ia pikir akan ada tulisan banyak di sini. Bahkan bisa saja puisi.

"Mr.M?"

"Siapa itu Mr.M?" Sarah mengangkat bahunya tidak tahu. Dia pun ikut penasaran.

"Yang pastinya orang yang suka sama lo, Na."

Kiana dan Sarah menatap Mawar dengan spontan.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang