31. Rencana Riska

25 7 0
                                    

Rizka tak bisa mengungkapkan kata-kata lagi. Ini seperti bukan Meizy. Dengan gaya bicara saya-Anda dan kata-katanya. Rizka tak percaya ini Meizy-nya.

Areta yang melihat itu juga tak kalah kagetnya. Tidak sangka anaknya akan dilamar di depan banyak orang seperti ini. Areta mengarahkan kamera ponselnya, merekam detik-detik selanjutnya. Ia tak mau kehilangan kejadian berharga bagi anaknya ini.

Banyak bisik-bisik terdengar, banyak juga yang meneriakkan kata 'terima' dengan lantang.

Rizka menahan air matanya yang siap tumpah seraya perlahan mengangguk. "Yes, i will."

Sorak-sorak bahagia terdengar. Terlebih lagi Meizy, ia sampai lompat-lompat. Meizy mengambil cincin dari kotaknya dan memakaikannya ke jari manis kiri Rizka.

Alunan musik terdengar. Rizka menaikkan satu alisnya pada Meizy seakan bertanya apa yang akan terjadi berikutnya. Meizy hanya tersenyum manis.

Ah, Rizka sepertinya tahu lagu ini, ini lagu "Marry Your Daughter". Rizka mengulum senyumnya. Ia pernah dengar dari Areta, ini lagu yang sama saat Prakoso dan Areta menikah.

"Coba aja Ayah Prakoso bisa datang menyaksikan ini, pasti kita lebih bahagia," bisik Meizy tepat di telinga Rizka.

Rizka hanya mengangguk kaku hingga suara Meizy mulai terdengar.

Sir, I'm a bit nervous
'Bout being here today
Still not real sure what I'm going to say
So bare with me please
If I take up too much of your time

See in this box is a ring for your oldest
She's my everything and all that I know is
It would be such a relief if I knew that we were on the same side
Very soon I'm hoping that I

Can marry your daughter

Meizy nenunjuk Areta.

And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'till the day that I die, yeah

Meizy mengambil satu tangan Rizka dan mencium punggung tangannya.

I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen
I can't wait to smile
When she walks down the isle
On the arm of her father
On the day that I marry your daughter

***

"BPS udah bangun?"

ND mengangguk. "Katanya sih udah, tapi enggak ada yang tahu saat dia bangun."

Terlihat raut wajah gelisah 3I4A. "Firasat kurang enak?"

ND membutuhkan semenit untuk mencerna ucapan 3I4A. "Berpikir positif aja," saran ND setelah mengerti maksud 3I4A seraya mendudukkan dirinya di kursi kayu.

ND, 3I4A, dan 5I memang sedang berkumpul di warung dekat sekolah Rizka, sedangkan HO ada di rumah sakit mengurusi pasiennya.

Tadi, ND yang mengajak ketemuan. Sebab ND tidak kuat melihat momen romantis Rizka dan Meizy. Apa mereka tak tahu jika ND itu jomblo? 'kan ND jadi ingin digituin juga, hanya tak tahu dengan siapa.

"Cie, uwu fobia, nih. Jomblo sih," ledek 5I seperti dirinya tidak jomblo, padahal sama saja.

"Sama-sama jomblo, diem aja deh," dengus ND tak tahan.

"Setidaknya gue punya gebetan," balas 5I membuat ND memutar bola mata malas.

ND beranjak untuk mengambil sebuah roti yang tinggal satu-satunya. Namun, satu tangan orang lain juga ingin mengambil roti itu membuat tangan mereka bersentuhan.

"Buat lo aja," kata orang tadi seraya memasukkan kedua tangannya ke saku.

ND segera mengambil lalu memakan roti tersebut. Tidak mau roti itu diambil lagi.

Orang tadi terkekeh melihat kelakuan ND. Ia menjulurkan tangan. "Kenalin, gue Levi. Lo?"

ND menatap Levi datar. "Panggil aja ND."

***
"Gue boleh jalan-jalan ke hutan ga?"

Raut wajah Riordan seketika berubah seperti orang kaget, namun ia segera menetralkan raut wajahnya. Riordan mengedikkan bahu sembari menggeser tubuhnya sedikit menepi ke tepi kasur. "Terserah."

Sekarang Riordan dan Riska sedang berada di kamar mereka, dengan Riordan yang memberi jarak.

Riska mengerucutkan bibirnya. Sejak bangun tidur sampai hari hampir malam, Riordan menjadi irit berbicara dan tak jahil seperti biasanya. Riska sebenarnya tahu penyebabnya, tapi 'kan … gitu deh.

Riska akhirnya mengambil tas kecilnya dan bersiap untuk pergi.

"Yakin enggak mau temanin gue?" tanya Riska di ambang pintu kamar mereka.

"Gak."

"Yakin enggak takut gue kenapa-kenapa di sana?" tanya Riska lagi, sedikit menggoda Riordan.

Riordan tampak berpikir sebentar hingga akhirnya ia berucap, "Gak."

"Ga asik lo, ah. Gue ajak Imam juga deh, biar lo sendirian di rumah. Awas aja kalau lo tiba-tiba khawatir sama gue terus minta ikut. Gue pamit," pamit Riska menutup pintu dan berlalu dari hadapan Riordan.

"Kegeeran. Tapi, gue khawatir sama lo. Ah! Lo sih segala lupa sama hari ini, mana ga peka banget lagi!" Riordan menghembuskan napasnya gusar.

"Untung dia enggak ikut. Kalau ikut rencana gue jadi gagal," gumam Riska berjalan ke kamar Imam.

Ketika Riska di depan pintu kamar Imam, ia mengetuk pintu beberapa kali. "Imam temenin Ibu, yuk."

Imam membuka pintu. "Ke mana, Bu? Ini udah mau malam."

Riska membisikkan sesuatu ke telinga Imam, membuat Imam mau tidak mau mengangguk. Toh, ini juga untuk Ayahnya.

Imam meminta izin pada Ibunya untuk ganti baju sebentar. Setelahnya, mereka berdua pun pergi menggunakan taksi.

Riska mengabari semua temannya untuk pergi ke hutan juga, termasuk Areta. Riska menge-chat  Areta, tak kunjung dibalas. Membuat Riska memilih menelepon Areta.

Dua kali ia menelepon, Areta tetap tidak menerima teleponnya. Hingga ketiga kalinya, akhirnya Areta menerima telepon Riska.

"Ngapain aja, sih, Jeng? Sampai saya telepon berulang kali ga diangkat. Ngartis."

"Maaf, saya baru pulang dari kelulusannya Rizka."

Riska menghela napas. "Jeng ke hutan yang dekat komplek dong. Nanti saya kirimin deh alamatnya."

"Buat apa? Udah mau malam, loh. Saya juga enggak bisa lama-lama." Terdapat nada penolakan di sana.

"Jeng belum buka chat saya, ya? Ampun deh, Jeng. Makanya buka dong, saya udah chat Jeng Areta berulang kali, loh. Capek saya, tuh," keluh Riska menggebu-gebu.

"Belum, maaf tadi saya enggak buka ponsel."

"Jeng mending sekarang baca chat saya, deh. Jeng Areta, mah, benar-benar. Kuota saya udah habis berapa coba buat nge-chat Jeng Areta?"

Prata StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang