Impianmu Itu Milik Siapa?

30 16 3
                                    

Hari sabtu. Pagi-pagi sekali, selesai menyiapkan busur dan panahnya kembali, mengecek bahwa  tidak ada lagi yang kurang, ia pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan bekal untuk perlombaan nanti. Lomba panahan itu diselenggarakan oleh komunitas panahan nasional. Dari bulan lalu, Feliz menabung untuk uang daftar dan akhirnya minggu lalu mendaftar.

    Hari ini ia akan bersaing dengan 200 orang untuk menancapkan panah tepat di tengah target.

    Iskandar terbangun karena mencium aroma nasi goreng duduk di meja makan. “Tetap mau berangkat? Ayah takut kamu pingsan di tengan jalan.”

    Feliz mengeringkan keringat di telapak tangan. “Aku gak apa-apa. Lagian ini hal yang aku tunggu-tunggu darilama.”

    Pria itu mendesah berat. “Penyakit jantungmu pasti bawaan dari kakekmu. Dasar pria tua itu, sudah lahir dan mati dalam keadaan miskin, masih saja mewariskan penyakit ke anakku.”

    “Yah.”

    “Lho emang bener kan? Kalau kamu terlahir miskin, memang bukan salahmu. Tapi kalau kamu mati masih miskin, itu baru salah,” ujar Iskandar sembari menatap Feliz. “Kamu harus lebih sukses dari Ayah.”

    Perkataan ayahnya di meja makan tadi lumayan mengganggu pikirannya. di halte depan sana, Fuschia melambaikan tangan ke arahnya. Laki-laki itu lantas mendekat dengan tas berbentuk tabung, dengan kedua tangan menenteng bekal makan.

    Cewek itu tidak mengantuk sama sekali meski tadi malam ia tidak bisa tidur hingga jam tiga pagi. Mereka langsung naik ke bus saat berhenti tepat depan mereka.

    “Maaf gue membuat lo nunggu lama tadi.” Feliz menatap perempuan berambut hitam di sebelahnya.

    Gadis itu mengeleng membuat poninya berayun. “Aku juga baru datang. Tenang, aku hapal jadwal bus, jadi aku datang di sana tiga menit sebelum bus ini datang, Kak.”

    Feliz lumayan terpukau. “Bagaimana jika ternyata bus datang tiga menit sebelum lo?”

    “Ehm, menurut pengamatan aku, belum pernah ada bus yang datang sebelum jadwal.”

    Pria itu tergelak sesaat. “Tenang, umurmu masih jauh untuk merasakan ketinggalan bus.”

    Fuschia tertawa kecil. Hingga pada suatu topik, yang membuatnya berpikir keras.

    “Sesuka apa kamu sama biola?” Perjalanan menuju stadion masih jauh. Bus mulai terisi penuh oleh para pelajar yang akan berangkat ke sekolah. Sekolah apa yang membuat muridnya berangkat hari sabtu? Kasian sekali.

    Fuschia menatap jendela, merangkai kata-kata untuk menjawabnya. “Biola menurutku, seperti, membuatku lupa sejenak semua masalah. Ambisi Mama, PR yang bikin stres. Dan ternyata, lupa akan suatu hal yang berat, bikin pundak kita terasa ringan.”

    Sebenarnya itu bukan sejenis jawaban yang diinginkan Feliz. “Gue lihat artikel di google tentang Lo dua hari yang lalu. Jujur, gue kaget saat ternyata lo pernah diundang beberapa acara bergengsi di TV. Lo diluar dugaan.”

    Agak sedikit tersipu dan gede rasa, Fuschia menatap Feliz sebentar. “Memangnya,
didugaan kakak, aku seperti apa?”

    Lo gadis yang terlihat tidak mencolok. “Gue tidak harus menjawabnya kan?”

    “Its okay.”

    Sunyi sejenak. Namun tak lama, Feliz melontarkan pertanyaan baru, “Lo gak harus jawab pertanyaan ini, tapi kenapa lo berhenti melanjutkan karir lo saat SMP?”

    Fuschia menunduk. Ia memainkan jari-jarinya. “Selama ini...,” menarik napas. Aku hidup di impian orang lain. “Aku hanya sedang bosan sedikit. Jenuh, ya semacam itu. Jadi hiatus lama dan memulainya lagi.”

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang