Sebuah Apreasiasi

16 1 0
                                    

Di sana, di dekat tembok depan sekolah, terdapat seorang lelaki dengan baju lusuh dan mengeluarkan bau tidak sedap. Mungkin karena dia selalu duduk bersandar di dekat tempat pembakaran sampah. Atau mungkin karena sampah basah yang terkadang dilempar oleh anak sekolah yang nakal kepadanya. Bisa jadi karena dia juga telah lama tidak membersihkan dirinya.

Namun, lelaki itu tetap di sana. Meski caci maki dari orang – orang sekitar terus dilontarkan kepadanya. Sampah masyarakat, pengangguran, beban negara, dan hinaan yang begitu menyakitkan hati terus saja didengarnya. Terkadang wajahnya yang kusut juga diludahi oleh anak – anak nakal yang sekolah di sana.

Meski begitu dia tidak memberikan perlawanan. Seolah telah menyerah. Seolah ia menerima dengan lapang dada. Mungkin karena dia adalah seorang gembel. Seorang yang gagal dalam hidupnya dan tidak bisa bangkit lagi. Itu sebabnya dia bisa berlapang dada. Mungkin itu pula yang membuat orang lain semakin menghinanya lebih keras.

Kejadian sore ini tidak sama. Bukan sang gembel yang mendapatkan perlakuan buruk dari murid SMA di sana. Adalah seorang pelajar perempuan yang berlutut dan seolah mengais sampah. Bukan. Anak perempuan ini sedang mengumpulkan kertas yang telah disobek – sobek oleh anak sekolah yang lain.

Anak perempuan itu tetap mengutip kertas yang berserakan di depan pagar sekolah. Namun jemarinya seolah terhenti oleh air mata yang tak berhenti mengalir. Ia terus berusaha menyeka air matanya. Entah itu keteguhan atau kepasrahan, dia berusaha menahan ratapan yang bisa saja meledak. Sayangnya, ia tak mampu menahan gejolak di dalam sanubari.

Sang gadis merelakan sobekan kertas yang telah dikumpulkan dalam genggamannya. Ia pun membisikkan sesuatu pada angin senja. Seolah ada jeritan kecil, bagai perpisahan yang tidak ingin ia temui. Yang menambah jumlah air mata yang mengalir.

Sang gadis pun pergi. Meninggalkan sobekan masih berserakan di sana.

Pria gembel itu tidak ingin ikut campur. Ia hanya melihat apa yang terjadi. Tetapi, sebuah rasa penasaran kecil merasuk ke dalam benaknya. Bukan tentang si gadis, tetapi kertas yang disobek oleh murid – murid yang menghadang sang gadis.

Ia melangkah maju dengan ragu. Kemudian mengambil semua sobekan dan kembali ke tempat duduk biasanya. Ia pun mencari di dalam tempat sampah sebuah selotip. Pria gembel itu yakin sekali kalau pagi tadi ada anak sekolah yang membuang selotip putih.

Sang gembel pun mulai menyatukan kembali satu demi satu sobekan itu. Menyusunnya perlahan agar semua kembali seperti sedia kala. Tentu hal itu sangat sulit. Tetapi karena dia hanyalah gembel yang tidak mempunyai kegiatan apa pun, ia mempunyai waktu yang banyak untuk dihabiskan.

Sampai maghrib menjelang, barulah ia bisa menyelesaikannya. Hasilnya adalah dua puluh lembar kertas yang memiliki tulisan tangan yang cukup rapi. Sang gembel ada niat untuk mengembalikannya. Tetapi ia kembali mengingat kejadian sore tadi. Kertas – kertas itu pastilah sudah dicampakkan. Sama seperti dirinya.

Ia menggenggam erat dua puluh lembar kertas itu rapat – rapat. Kemudian ia mengeluarkan lampu teplok bekas dan menyalakannya. Api yang ada di lilin itu cukup untuk menerangi malamnya. Juga cukup untuk membakar kertas – kertas itu. Tetapi, tidak ada salahnya bagi sang gembel untuk mengetahui isinya. Karena waktu luangnya yang tak terbatas, sang gembel pun memutuskan untuk membacanya.

Keesokan paginya, sang gembel berdiri di dekat pagar sekolah. Tentu saja, hinaan dan cacian dari murid – murid masuk ke sekolah semakin deras menghujam perasaannya. Tetapi ia tetap berdiri di sana. Hingga gadis yang ia lihat kemarin tiba, sang gembel bergegas menghampirinya dan langsung menyerahkan dua puluh lembar kertas itu kepadanya.

Sang gadis ragu – ragu untuk menerima kembali apa yang telah ia lepaskan. Ia ingin lari dari kenyataannya.

"Kisah yang bagus," ucap sang gembel, "Andrew pantas untuk bahagia."

Mendengar ucapan itu membuat sang gadis menitikkan air mata. Seolah tekadnya untuk melupakan semangat dan cita – citanya untuk menjadi penulis langsung sirna tak bersisa. Jemarinya bergetar hebat saat meraih naskahnya kembali. Ia pun mendekap naskahnya sangat erat. Begitu erat bagai tak ingin terlepas lagi dari dirinya. Untuk selamanya.

Seutas ApresiasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang