14. Rumah Fiki

103 14 0
                                    

"Udah bangun, sayang?"

Kiana mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali, menyesuaikan cahaya rembulan yang masuk melalui ventilasi jendela kamar sepupunya. Lalu, mengubah posisinya menjadi duduk. Di hadapannya sudah ada seorang wanita yang tengah tersenyum ke arahnya. Wanita itu bibinya, Mama dari Fiki.

"Aunty, tidur Ana lama banget, ya?" tanyanya dengan suara serak. Gadis itu menggerakan lehernya, menatap sekelilingnya.

Wanita yang dipanggil Aunty itu mengangguk. "Iya, Na. Tidur kamu nyenyak banget, sampe enggak terasa udah mau malem," balasnya dengan nada jenaka.

Kiana terdiam, ia mendapati pakaian sekolahnya masih melekat di tubuh, bahkan ikat pinggang pun masih terlilit di pinggangnya. Seketika bayangan kejadian pagi tadi terputar dengan jelas di kepalanya.

Melihat keponakannya murung, Mona tersenyum samar. Dia bisa merasakan bagaimana sedihnya gadis yang sudah dia anggap putrinya sendiri, dia pun bisa merasakan isi hati Kiana. Gadis itu sedang dilanda ketakutan.

Tangan Mona memegang telapak tangan keponakannya dan membawanya ke dalam genggamannya. "Apa pun masalah kamu, jangan sungkan untuk berbagi sama Aunty. Kali aja Aunty bisa kasih solusi," ujar Mona lembut.

Kiana membalas genggaman itu, mungkin tersenyum tipis adalah caranya untuk menyembunyikan luka yang sebenarnya.

"Ini sakit banget, ya? Mau Aunty obatin?" Mona menyentuh pinggir area bercak darah kering di sudut bibir Kiana.

Kiana menggeleng, "aku bisa sendiri, Aunty. Enggak mau ngerepotin, hehe."

"Loh, kok gitu? Ya enggak ngerepotin lah, sayang. Kayak sama siapa aja sih kamu," kekeh Mona. Wanita itu beranjak dari duduknya.

"Aunty ke bawah dulu."

Kiana mengangguk pelan, pandangannya terus mengikuti kemana punggung itu berjalan hingga tertelan pintu kamar. Gadis itu menghela napas pelan, memegang sudut bibirnya yang luka akibat ayahnya.

Tak lama Mona kembali dengan membawa handuk dan batu es guna mengompres luka keponakannya.

"Aunty kompres ya memar kamu," kata Mona lembut.

"Kiana bisa sendiri kok."

"Enggak, biar Aunty aja yang ngompres. Kamu cukup diam, Ok?"

"Tap--"

"Enggak ada tapi-tapian, sayang. Nurut ya, sama Aunty, Ok?"

Kiana membuang napas pasrahnya, niatnya tak ingin merepotkan Aunty-nya lagi, malah semakin merepotkan wanita ini lagi.

"Oke, Aunty."

Mona tersenyum penuh. "Nah, gitu dong."

***

Beberapa jam kemudian, kamar Fiki sudah dipenuhi dengan barang-barang miliknya serta saudara-saudaranya. Mereka tengah menonton televisi kesukaan Mama Fiki bahkan ibu-ibu komplek perumahan cowok itu. Ah, sebenarnya di sini hanya Fiki yang tengah menonton. Lihat saja, Fenly sibuk dengan ponselnya. Kiana yang sibuk dengan rubik ditangannya, dan Shandy yang sibuk mengamati beberapa dokumen penting di dalam laptop kerjanya.

"Ya ampun, mas Al. Lo kalo suka Andin, bilang napa. Kagak usah gengsi-gengsian segala, dasar ketus boy," omel Fiki di sela-sela menonton dan juga menyantap ciki-ciki ringan yang dia beli dari minimarket.

"Udah keliatan banget lo suka sama Andin, Bro."

"Otak lo, Fik fik. Sinetron mulu, pantesan hidup lo drama banget," cibir Shandy tanpa mengalihkan arah pandangnya dari laptop.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang