15. Mr. M

89 11 0
                                    

Satu pekan berlalu, dan selama itu Kiana berada di rumah Fiki. Gadis itu merasa betah, rasanya tak ingin pulang ke asalnya. Ia terlalu nyaman dengan semuanya di sini, seakan rumah Fiki-lah obat dari rasa sakit hatinya terhadap Rifal.

Mona, Aunty-nya itu baik dan lembut, sesekali juga terlihat lucu kalau sedang menonton sinetron. Aura ibu-ibu yang kebaperan dengan tontonannya itu sangat terasa. Ada juga Uncle Hengki, pria yang menyandang status Papa Fiki tak kalah baik, dia juga akan terlihat lucu ketika menggoda dan membujuk Mona, selain itu uncle-nya itu lebih memprioritaskan dirinya daripada Fiki yang notabene-Nya anak sendiri. Namun, Fiki tidak mempedulikan itu, cowok itu pun sama baiknya dan memprioritaskan Kiana daripada diri dia sendiri.

Intinya Kiana nyaman berada di keluarga Fiki, keluarga yang penuh dengan kelucuan. Selera humor mereka terlalu tinggi. Dan entah mengapa, Kiana selalu tertawa jika sudah terkumpul semuanya di meja makan atau di ruang keluarga. Ada saja obrolan yang tidak bermanfaat tapi bisa membuat keadaan menjadi ramai. Gelak tawa selalu menyertai, mereka terlalu pandai dalam hal menghibur. Kiana suka itu. Jadi, sepekan ini ia pelan-pelan menghilangkan luka yang membekas.

"Jadi, seminggu bahkan hari ini lebih, lo enggak pulang, Na?" tanya Sarah pada Kiana.

Kiana mengangguk. "Ya, gue enggak pulang," balasnya. "Males aja gue di rumah."

Sarah mengerutkan dahinya, dia menjadi tidak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya. "Lo, yakin alasannya itu?"

"Lo lagi enggak bohong, 'kan?"

Kiana menatap Sarah datar. Memang Sarah itu yang paling tidak mudah percaya. "Emang gitu alasannya, kenapa, lo enggak percaya?"

"Bukan gitu, tapi pasti ada sesuatu yang buat lo males pulang. Lo ... lagi ada masalah ya sama, keluarga?" tanya Sarah hati-hati.

Kiana terkekeh sumbang, membalas tatapan Sarah. "Kalo iya ataupun enggak, itu bukan berarti lo harus tau 'kan?"

Kiana menghela napasnya dan menatap pintu kelas. "Tugas lo cuma satu, belajar. Beberapa jam lagi ulangan di mulai, lo mau nilainya nol? Enggak 'kan?"

Setelah berkata barusan Kiana bangkit, berlalu meninggalkan Sarah yang masih bergulat dalam pikirannya sendiri.

'Salah ya, kalo gue butuh penjelasan yang asli dari Ana? Gue ini sahabatnya, salah gitu kalau gue ingin dikasih tau apa yang sebenarnya terjadi sama dia, gue ini peduli sama dia.' Sarah membatin.

***

Jangan sedih, nanti cantiknya hilang. Nanti enggak ada yang suka.

Kiana mengerutkan dahinya kala membaca tulisan diselembar kecil kertas origami warna kuning. Kertas itu berada di samping tempat duduknya. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Tempat ini sepi tidak ada siapa-siapa, serius taman ini sangat sepi hanya dirinya saja di sini. Lalu siapa yang menaruh kertas tersebut di sampingnya?

"Siapa yang naruh? Kenapa tahu kalo gue lagi sedih?" tanyanya pada diri sendiri.

Lupakan saja. Pasti ini kebetulan, mungkin ini bukan untuknya. Kiana melirik jam tangan silver miliknya, sebentar lagi masuk. Ia pun memutuskan bangkit dan berjalan menuju kela. Entah sadar atau tidak, jelas-jelas Kiana memasukan kertas origami-nya ke dalam sakunya sendiri.

Di tikungan koridor Kiana tak sengaja menabrak seseorang, ternyata teman seangkatannya. Namun ia tak mengenali siapa namanya, hanya melihat atribut yang gadis itu kenakan membuatnya paham bahwa gadis yang sudah ia tabrak itu satu angkatan dengannya.

"Eh sorry," ucap Kiana merasa bersalah.

"Euh, iya enggak pa-pa. Aku duluan, yah." Gadis itu pamit dengan cepat, sepertinya sedang ada hal yang penting. Kiana menatap punggung gadis tadi hingga jauh, ada perasaan tidak enak di hatinya.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang