16. Semakin Dekat

96 13 0
                                    

"F--fajri?"

Fajri tersenyum kaku, cowok itu tercyduk sekarang. Dia berdiri perlahan dan mendekati Kiana yang berdiri mematung. Menggaruk-garukan tengkuk adalah salah satu caranya untuk mengalihkan rasa kikuk-nya.

"Kamu ngapain di sana tadi?" tanya Kiana.

Fajri meringis, dia bingung harus menjawab apa. Dia merasa seperti ke-gap mencuri mangga tetangga. Rasanya malu.

"Hehehe." Hanya itu yang keluar dari mulut Fajri. Cowok itu terkekeh garing.

"Jadi, orangnya itu kamu?"

Fajri termangu sesaat, namun kemudian dia mengangguk ragu. Membalas tatapan teduh dari si pemilik mata coklat itu. Keduanya saling beradu tatap, hingga jantung keduanya sama-sama berdetak abnormal. Biarlah langit dan awan yang menggumpal menjadi saksi bisu akan kenyamanan ini, biarlah. Keduanya terlalu hanyut dalam aksi tatap-tatapan ini.

Kiana tersadar lebih dahulu, ia mengamati wajah tampan cowok idamannya ini. Bukan menjadi hal mengejutkan saja, bahkan benar-benar di luar jangkauan Kiana. Ternyata dia yang ia sukai dalam diam selama ini adalah dia orang yang sama dengan si pengirim bunga tulip, novel, dan mengaku sebagai Mr. M.

Rasanya ... mendebarkan!

Bahkan Kiana tak percaya ini nyata atau bukan? Namun ia juga harus pandai, ia harus mengetahui apa maksud Fajri memperlakukan dirinya seperti orang yang dia incar.

"Kenapa?" tanya Kiana. "Kenapa kamu melakukan semua ini?"

Fajri terdiam. "Apa kamu hanya main-main sama aku?" Kiana tersenyum kiri melihat reaksi Fajri yang tetap diam.

"Kalo kamu niat memberi aku hadiah, bisa 'kan kamu kasih langsung? Tanpa membuat teka-teki yang membingungkan," ujar Kiana.

"Dan tanpa mengaku sebagai Mr. M."

Fajri kembali menatap wajah cantik gadis di hadapannya. Ia membuang napas sejenak. "Aku melakukan ini karena aku ingin," ucapnya sedikit menggantung.

"Aku enggak main-main sama kamu, tapi aku hanya ingin." Fajri tersenyum kecil. "Aku ingin kamu tau, kalo aku ingin dekat sama kamu lewat caraku ini. Cara kuno tapi mampu membuat kamu penasaran. Itu saja, walaupun kita saling kenal, tapi kita enggak saling dekat 'kan?"

Entah mengapa perasaan Kiana tak menentu. Mendengar setiap kalimat yang Fajri lontarkan mampu membuat Kiana ingin terbang setinggi-tingginya.

"Makanya aku lakukan secara rahasia, aku ingin dekat sama kamu dengan sembunyi-sembunyi. Terdengar aneh dan cemen, tapi itulah aku," papar Fajri diakhiri kekehan kecil.

"Yang nulis-nulis di kertas origami itu ... kamu, juga?" tanya Kiana ragu.

Fajri tersenyum samar lalu mengangguk. "Iya. Aku juga lakuin itu," balasnya. Kiana tak tahu harus bereaksi apa, hatinya berdebar-debar.

Cowok itu maju satu langkah mendekati Kiana hingga jarak mereka hanya sebatas dua jengkal saja. Fajri menatap dalam Kiana, hingga keduanya kembali hanyut dalam kenyamanan ini.

"Karena aku udah ketahuan sama kamu, sekarang aku mau ngomong secara terang-terangan. Boleh enggak aku deket sama kamu? Apa kita bisa menjadi ... teman dekat?" tanya Fajri tulus. Bukan apa, cowok itu memang mempunyai niatan untuk menjadi sebagian penting di hidup Kiana. Entah sejak kapan, yang jelas Fajri sudah tertarik dengan Kiana saat keduanya ditugaskan bersama dalam kegiatan lomba sastra. Dengan Kiana yang menjadi peserta lombanya, dan Fajri di mana dia sebagai team pendukung sekaligus pendamping karena memang dia mewakili ketua Osis yang berhalangan hadir.

Kiana seakan terhipnotis, ia mengangguk spontan. Wajah gadis itu terlihat lucu dimata Fajri, apalagi bagian mata. Dia menyukainya. Mulai sekarang mata Kiana akan menjadi favoritnya.

***

Di rumah, Rifal tengah membereskan barang-barangnya ke dalam koper. Pria itu sangat sibuk prepare. Dia berniat akan berlibur ke Singapura selama tiga hari, dia benar-benar butuh me-refresh otaknya. Rumitnya pekerjaan di kantor membuatnya frustasi. Maka dari itu ia memutuskan untuk berlibur ke singapura, sekaligus menghabiskan waktunya bersama dengan keluarganya.

"Huh!" Pria itu akhirnya bisa bernapas lega ketika persiapannya sudah, ia tersenyum puas.

"Mas," panggil Marlina.

Rifal menoleh, dan tersenyum hangat melihat istrinya yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Iya, ayo sini. Aku sudah selesai prepare," ujarnya.

Marlina menatap ragu suaminya, ia sungguh tak yakin dengan keputusan suaminya. Karena bagaimana pun, ada seseorang yang harus mengetahui ini semua.

Marlina sudah berdiri di hadapan Rifal. "Mas, apa kamu yakin mau ke Singapura?" Wanita itu membuang napasnya. "Apa kamu enggak ada niatan untuk jemput Kiana? Dan ajak dia agar ikut sama kita, ya kalo masalah sekolah bisa izin. Orang kita aja di sana cuma tiga hari 'kan?"

Rifal terdiam. Dia baru ingat, jika ada satu jiwa yang berada jauh dari sisinya. Kiana, putri kandungnya itu sudah seminggu lebih tidak menampakan diri di hadapannya pasca tuduhan yang ia sematkan untuknya.

"Kamu enggak tega 'kan kalo misalkan kita pergi tanpa ngasih tau Ana?"

Rifal menatap istrinya datar, "enggak usah, biarkan saja. Kiana sudah besar. Dia bisa hidup sendiri, bahkan pencuri itu lebih nyaman berada di rumah paman dan bibinya."

Rifal berkata demikian karena dia masih memendam amarah kepada putrinya. Ini bukan soal kehilangan uang, bukan. Tapi ini soal kejujuran. Putrinya itu sudah berbohong atas tindakan memalukannya itu. Hal yang dia benci adalah kebohongan, apalagi Kiana sempat memfitnah Marlina. Jelas saja dia tak terima, mana mungkin istrinya yang maling. Tahu tempatnya saja tidak.

Marlina tersentak dengan kalimat kasar dari suaminya yang menyebut Kiana sebagai 'pencuri'.

"Mas, sadar. Kiana itu anak kamu, Mas."

"Aku enggak punya anak yang suka mencuri, Marlina."

Satu tetes keluar dari sudut mata Kiana. Gadis itu mendengarnya, bahkan semuanya dari awal kedua orang tuanya berbincang. Jadi, ayahnya benar-benar menganggap dirinya adalah pencuri? Tidak adakah rasa sangkal dari Rifal padanya? Semudah itu Rifal memutuskan sesuatu tanpa adanya bukti.

"Aku emang bukan anak Ayah lagi, ya? Aku emang udah enggak ada dihatinya ayah. Bahkan ayah bertindak masa bodo ketika ayah akan pergi dari sini."

Gadis itu menengadah ke atas. "Ibu ... mengapa hidup tanpamu itu semenyakitkan ini?"

Gadis itu bergegas menuju kamarnya, ia akan mengemasi seluruh baju-bajunya. Ia memang sudah tidak pantas berada di sini, ayahnya membenci dirinya.

***

Fiki sibuk menggoda pasangan baru ini yang sudah resmi lima hari yang lalu. Siapa lagi kalau bukan Mang Ujang dan bi Murni. Pasangan janda-duda itu terlihat malu-malu ketika di goda Fiki habis-habisan.

"Gas terus dong, Mang. Jan dikasih kendor! Cewek itu paling suka kalo kaum adam memberikan sesuatu sama cewek," ujar Fiki.

"Cie cieeee malu-malu kucing nih mang ujang sama bi mur, cieeee!"

"Pasangan baru mah beda!"

"Aduh, Mang Ujang curi-curi pandang sama bi Murni."

"Bi!" Bi Murni yang sedang menyiram tanaman menoleh, mendadak tidak fokus.

"Kata mang Ujang, senyumu itu mengalahkan putri kerajaan. Karena kamu itu terlahir sebagai putri dihati aku," seru Fiki dibuat-buat. Seakan dirinya adalah Mang Ujang.

"Ihh, den Fiki mah apaan sih."

"Hadeuh, jangan gitu lah den."

Fiki tertawa keras, sampai matanya menangkap Kiana yang membawa ransel besar sambil mengelap wajah sembabnya.

"Ana!"

"Abaaaang!"

Fiki membalas dekapan erat Kiana yang tiba-tiba. Pikirannya bercabang, pasti ada sesuatu yang membuat adiknya seperti ini. Dan dia yakin, penyebabnya itu orang yang masih di dalam rumah. Cowok itu yakin, jika pamannya lagi-lagi membuat Kiana menangis.

Sementara bi Murni dan mang Ujang saling tatap, keduanya merasa iba dengan keadaan Kiana. Gadis ceria yang sudah kehilangan keceriaan.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang