17. Ikatan batin

100 15 1
                                    

Kiana demam, gadis itu sepertinya kelelahan karena semalaman menangisi ayahnya. Hari ini ia izin tidak berangkat sekolah. Sementara ketiga abangnya nampak sibuk. Bukan sibuk mengurusi diri masing-masing bukan. Mereka sibuk mengurusi Kiana yang demam, mereka kelimpungan kesana-kemari demi dirinya sembuh.

Shandy, pemuda itu rela tidak berangkat kantor hanya karena Kiana demam. Dia bertugas untuk menyiapkan bubur di dapur. Mungkin jika Mona tidak ada urusan di butiknya, pasti dialah yang membuat bubur untuk Kiana. Pasti wanita itu yang akan menyiapkan semuanya tanpa bantuan putra dan keponakan-keponakannya. Subuh tadi saja rasanya berat untuk pergi ke butik.  Begitu juga dengan Hengki, pria itu malah berencana untuk meliburkan diri hanya karena keponakannya demam.

Fenly, cowok itu yang rumornya sedang ada simulasi tiga hari ke depan harus izin tidak berangkat demi Kiana. Cowok itu sibuk mengompres kening Kiana dalam diam.

Satu lagi, Fiki. Dia mendapat tugas untuk membeli obat di apotek.

"Bang, aku udah mendingan kok," ucap Kiana lemah.

"Diam," pinta Fenly tanpa ekspresi. Namun nada suaranya terdengar lembut.

Kiana hanya bisa pasrah, ia menerima perlakuan manis dari Fenly. Ingin protes pun tenaganya sangat lemah.

Tak lama Shandy datang membawa nampan berisi bubur buatannya. "Bubur jadi, nih! Waktunya sarapan," serunya.

Fenly menghentikan kegiatannya, dia menyimpan peralatan kompres seperti handuk beserta antek-anteknya ke nakas. Dengan segera dia membantu Kiana agar merubah posisi tidurnya menjadi duduk.

"Ini spesial buat kamu, bubur ala abang Shandy yang pastinya buat kamu jadi sembuh," ujarnya percaya diri sembari menyuapi Kiana yang awalnya sempat menolak.

"Jangan banyak-banyak bang." Kiana protes ketika Shandy memberinya satu sendok penuh.

"Eh iya maaf dek, nih makan."

Keadaan menjadi hening, Shandy yang sibuk menyuapi Kiana dengan telaten. Sedangkan Fenly berdiam diri menatap khawatir pada Kiana.

Sampai Fiki datang, si cowok bongsor yang suka merubah suasana menjadi ramai.

"Gue dong bisa dapet obat pagi-pagi ke apotek yang belum buka!" Suara besarnya menggelegar di kamar ini. Cowok itu memberikan kantung kresek yang berisi obat pada Shandy.

"Bang Fiki ke apotek?" tanya Kiana tak percaya.

Fiki mengangguk antusias, dia meloncat ke kasur dan duduk di sebelah Kiana. Fenly menatapnya datar, abangnya itu pasti tengah menegurnya lewat sebuah tatapan.

Dia nyengir kuda. "Maaf bang," ucap Fiki. Tatapannya kembali mengarah pada adiknya. "IYA! lo tau enggak dek, gue tadi hampir di usir sama penjaga kantor dinas perhubungan," adunya.

"Kenapa bisa gitu?" tanya Shandy ikut menyambar.

"Gue juga enggak tau, intinya tadi gue duduk di bebatuan depan apotek nunggu apoteknya buka, soalnya kata orang daerah sono bentar lagi juga buka, ya makanya gue tungguin dong!"

"Tapi parahnya gue lupa bawa hp, alhasil gue kek orang jalanan aja. Diem enggak gerak-gerak, cuma ngamatin kendaraan-kendaraan yang lewat."

"Tiba-tiba security gedung dinas perhubungan samping apotek dateng, nanyain gue lagi ngapain. Dan dengan santuinya gue jawab lagi nunggu seseorang yang datang karena rasa kepekaan yang sudah dia sadari," curhat Fiki terkekeh.

"Dih, najis!" samber Shandy.

"Serius, njir! Gue langsung di suruh pergi dari situ. Katanya gue kurang kerjaan, dan parahnya si security buncit itu ngatain gue enggak waras. Ya ampun, muka ganteng kek gue keliatan banget ya gilanya?!" Fiki histeris.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang