19. Keputusan

120 12 2
                                    

"Pasien harus segera dioperasi jika ingin hidungnya kembali normal," ujar Dokter muda berkacamata pada Mona dan Hengki, selaku kedua orang tua Fiki.

Bagai ditusuk ribuan jarum, Mona langsung menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Begitu juga dengan Hengki. Pria itu terkejut bukan main, separah itukah luka dari putranya?

Ia tak habis pikir dengan musibah yang datang secara mendadak seperti ini. Pantas saja perasaanya dari pagi tak menentu, bahkan saat di kantor pikirannya selalu tertuju pada anak beserta istrinya. Ternyata ini aslinya, ini wujud nyata dari perasaan tak menentunya.

Dokter muda yang diketahui bernama Dimas itu tersenyum tipis, dia tahu bagaimana perasaan kedua pasangan suami istri ini. Pasti mereka sangat terpukul dengan keadaan putra tunggal mereka.

"Tenang Pak, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik untuk putra kalian. Dengan do'a kalian yang pastinya," kata Dokter Dimas.

Mona mengangguk cepat. "Iya dok, saya percaya itu. Tolong maksimalkan untuk putra saya," pinta Mona gelisah.

Dokter Dimas mengangguk dan tersenyum. "Baik, Bu, Pak. Kalau begitu saya permisi, untuk persiapan operasi. Dan prosesinya akan dilaksanakan dua jam lagi."

Setelah itu Dokter Dimas benar-benar pergi meninggalkan Mona dan Hengki yang saling merangkul, saling memberi kekuatan.

"Aku harap semuanya akan baik-baik saja, Pa."

Hengki mengangguk, lalu membawa istrinya untuk duduk di kursi tunggu. "Itu mah Harus, Ma."

***

Proses operasi tengah berlangsung hari ini juga. Ada Mona, Hengki yang ditemani oleh tiga keponakan mereka. Shandy, Fenly, dan Kiana. Mereka tengah menunggu di luar ruang operasi dengan perasaan yang benar-benar cemas. Harap-harap operasi segera selesai dan Fiki bisa sembuh secepat mungkin.

Fenly sendiri merasa terpukul, ia sedih, marah, dan kecewa. Perasaan itu terkumpul menjadi satu dalam benaknya, ia bahkan seolah-olah tak menyangka dan tak menduga akan sefatal ini pada akhirnya.

Ia mendapat hukuman skorsing selama dua hari, karena memulai sebuah perkelahian dan membolos ketika waktu menunjukan tes simulasi. Harusnya ia sadar, sekarang sudah menjadi siswa kelas XII dan masa sekarang itu bukan waktunya membuat onar. Tapi keseriusan dalam menuntut ilmu itulah yang seharusnya ia fokuskan.

"Aunty, Uncle, Shandy cuma serahin aja sama yang di atas. Sebisa mungkin Shandy berdo'a yang terbaik untuk Fiki," ujar Shandy tulus. Mona mengangguk, lalu merapatkan diri pada Kiana yang sedari tadi hanya diam. Wanita itu membawa gadis di sampingnya duduk dalam rengkuhan hangat.

"Aunty sedih Ana," lirih Mona tepat di telinga Kiana.

Kiana bergerak kaku dan membalas rengkuhan hangat dari Mona. Entah mengapa saat-saat ini ia membutuhkan pelukan dari Ibunya. Gadis itu sama tidak tenangnya, dia tengah mengkhawatirkan kondisi Fiki.

Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka, menampilkan sosok Dokter Dimas yang sedang melepaskan masker.

"Bagaimana dengan kondisi anak saya, Dok?" Mona berujar dengan cepat, hatinya sudah berdebar-debar.

Hengki memandang Dokter Dimas yang terdiam saja, ia sudah tidak sabar untuk melihat kondisi putranya. "Apa semuanya lancar?" tanyanya.

Dokter Dimas tersenyum. "Ya, operasi berjalan dengan lancar, untuk itu pasien boleh di jenguk tapi nanti pas udah bangun, dia masih terlelap soalnya," papar Dokter Dimas.

Semuanya kembali bernapas lega, akhirnya selesai juga. Dan diluar dugaan, pelayanan di sini memang benar-benar maksimal.

Tidak membutuhkan waktu lama Suster datang menghampiri mereka. "Tuan dan nyonya pasien," panggilnya.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang