21. Pulang

145 20 10
                                    

Rifal dan keluarga barunya baru saja sampai di rumahnya setelah liburan di Singapura. Kini mereka tengah mengangkati barang-barang dari dalam bagasi mobil dengan dibantu mang Ujang yang pastinya.

Tiba-tiba ada dua orang ibu-ibu mendekat, ternyata mereka bu Susan dan bu Sari tetangga sebelah.

"Pak Rifal, udah pulang, ya?" tanya bu Susan, ibu-ibu berhijab bergo warna pink.

Rifal menoleh, ia tersenyum ke arah dua orang tetangganya. "Iya nih, Bu. Baru aja sampe," balasnya dengan ramah.

"Wah, pasti oleh-olehnya banyak nih," celetuk bu Sari, wanita paruh baya itu tidak berhijab.

"Iya dong! Kita di sana beli mainan banyak loh tante," seru Nabila menggemaskan.

"Huss, jangan pamer. Enggak baik," bisik Tasya sambil menyenggol lengan adiknya.

"Tapi aku enggak pamer, kak."

Bu Sari dan bu Susan saling tatap, lalu terkekeh pelan. "Nabila nih ada-ada aja, nih."

"Hehe, iya dia emang gitu bu Susan," balas Marlina.

Bu Sari mengerutkan dahinya, wanita itu seperti merasa ada yang kurang. Hingga akhirnya ia menyadari sesuatu dan bertanya, "pak Rifal, saya kok udah lama enggak pernah liat Kiana, di mana ya anak itu?"

Bu Susan ikut menyadari. "Ah iya, sama. Saya juga udah enggak pernah liat Kiana lagi, biasanya dia suka beli donat di warung saya kalo pulang sekolah. Tapi kok sekarang enggak ada ya kayaknya," papar bu Susan.

Bu Sari mengangguk, "iya bu sama. Wong kalo pulang sekolah si Ana selalu mampir ke rumah saya buat nengok si Ayla, anak saya yang lumpuh. Dia 'kan dulu waktu Smp bareng, tapi karena anak saya kena musibah ya, sekarang enggak bisa sekolah bareng lagi."

Rifal dan Marlina saling tatap, mereka mendadak bungkam ditanya seperti itu.

"Emang Kiana kemana sih, pak Rifal?" tanya bu Susan.

"Ouh, Ana, dia lagi tinggal di rumahnya Mas Hengki, Bu," jawab Rifal jujur.

Kening bu Sari mengerut, "loh kok tinggal di sana? Nginep sementara apa ada masalah sama kalian?" Memang bu Sari jika berbicara selalu to the point. Apa yang ada dalam pikiran liarnya pasti akan di pertanyakan atau diomongkan.

Tentu saja Rifal tergagap, karena apa yang bu Sari katakan memang benar. Putri bungsunya pergi dan tinggal di rumah kakak iparnya itu karena sebuah masalah, masalah uang yang hilang.

Bu Susan dan bu Sari saling lirik, kedua ibu-ibu itu memang jagonya gosip.

Bu Sari memicingkan matanya, ia mendadak curiga ketika melihat gelagat aneh pasutri itu.

"Kenapa diam aja? Salah ya sama apa yang saya omongin tadi?"

"Apa ternyata benar?"

Tatapan Rifal berubah dingin pada dua orang tetangganya, mereka pikir mereka siapa berani-beraninya memancing emosinya?

"Kalau pun ada, emang apa hubungannya sama kalian?"

***

Malam-malam suara bel rumah berbunyi berkali-kali membuat Mona berdecak sebal, wanita yang kini sibuk mengecek perkembangan usahanya harus terganggu dengan suara bel.

"Siapa sih yang bertamu malem-malem gini?"

Akhirnya Mona memutuskan untuk membuka pintu. Setelah pintu terbuka hal yang pertama dia lihat adalah Rifal, adik ipar suaminya beserta sang istri.

"Loh, Rifal?"

Pria itu menghiraukan Mona yang sepertinya terkejut, dengan lancangnya Rifal memasuki rumah kakak iparnya tanpa menunggu si tuan rumah mempersilahkan.

"Mba, di mana Ana?" Suara bariton milik Rifal menggelegar. Dia mencari-cari sosok putrinya.

Mona mendengkus dengan perilaku Rifal yang tak tau sopan santun ada di mana dia sekarang.

"Kamu cari dia?" tanya Mona. Tatapan wanita itu sinis, apalagi ketika melirik Marlina, istri Rifal.

"Iya, dia di mana sekarang aku ada perlu," balas Rifal.

Seketika tawa Mona pecah, Mama Fiki itu menertawai adik ipar suaminya itu. Pikirnya, ada ya orang seperti dia?

"Kok mba ketawa sih?" Kali ini Marlina yang bersuara.

Tawa Mona terhenti seketika, digantikan senyum sinis yang tersungging di bibir tebalnya.

"Kemana aja kamu, Fal? Kenapa baru nyariin Ana?"

"Kamu sibuk?"

Rifal menatap datar istri kakak iparnya, menurutnya wanita yang satu ini sangat bertele-tele. Dan dirinya muak.

"Singkirkan pertanyaanmu itu, Mbak. Saya ke sini mau cari Ana, bukan mengurusi pertanyaan tidak penting itu," kata Rifal dingin.

Mona mengepalkan kedua tangannya, berani sekali Rifal berkata barusan padanya. Jika ada suaminya, pasti pria yang tak jauh dari pandangannya itu akan tak mungkin sekurang ajar ini.

"Tidak penting katamu? Mba kalo jadi kamu bakal malu Fal, dateng-dateng ke rumah orang enggak sopan gini. Enggak tau diri lagi, berminggu-minggu ke mana aja kamu? Mba kira kamu udah enggak peduli lagi sama Ana."

Rifal memutar bola matanya malas. Lalu berjalan menuju lantai atas, tujuannya adalah kamar tamu. Ia tahu betul dengan Kiana yang suka menempati kamar tersebut jika menginap di rumah Hengki. Meninggalkan Mona yang terus memanggilnya.

***

Kiana yang sibuk belajar terkejut ketika pintu kamarnya dibuka dengan tidak santai. Gadis itu bangkit, dan menatap penuh kejut saat wajah Rifal yang terlihat.

"A--ayah?"

Rifal mendekat, tatapan pria tersebut penuh dengan kemurkaan. Lalu tanpa berbicara Rifal menarik tangan Kiana untuk ikut bersamanya.

"Ayah!" pekik Ana terkejut.

"Ayah mau bawa kemana Ana?! Ayah lepasin!"

Rifal menarik paksa Kiana untuk menuruni anak tangga yang sudah di depan mata, ia menatap Kiana tajam.

"Hari ini kamu pulang! Dasar anak tidak tau diri!"

Mata Kiana berkaca-kaca. Hatinya mencelos mendengar ucapan Rifal.

"Tapi...."

"Kamu mau malu-maluin, Ayah? Kamu pikir dengan numpang di rumah ini kamu bisa bebas gitu?"

"Jangan seenaknya!"

Rifal kembali menyeret Kiana dengan tidak berperasaan. Melihat keponakannya seperti kesakitan Mona bertindak, wanita itu menghadang Rifal dengan raut judesnya.

"Rifal, lepasin Ana! Jangan bawa Ana dari sini," serunya.

Rifal menatap Mona tak kalah tajamnya. "Dia putri saya, jelas apa pun yang saya perintahkan dia harus ikuti. Dia punya rumah sendiri, enggak seharusnya dia terus di sini."

Kiana memberi tatapan memohon pada Mona agar ia bisa terlepas dari tarikan paksa Rifal.

"Tapi dia tersiksa dengan kelakuanmu Rifal!"

Rifal jengah, ia tidak suka dicampuri begini. Daripada terus meladeni Mona lebih baik ia kembali menyeret Kiana untuk ikut pulang bersamanya.

"Rifal lepaskan Ana!"

"Aunty, ty! Bantu Ana!"

"Sudah kamu ikut ayah!"

Mona menatap nanar mobil Rifal yang sudah menjauh. Tadi, Keponakannya menangis pilu di dalam mobil sambil menatapnya penuh permohonan agar dirinya bisa menyelamatkan gadis itu dari kegilaan sang ayah, membuatnya tak tega.

Lalu ia memutuskan untuk menghubungi suaminya, memberitahu soal ini agar Hengki segera pulang dari kantor.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang