23. Nabila

88 12 3
                                    

Kiana memandang kamarnya sendu, ada sekilas bayangan indah di masa lalu tentang kamar ini. Tentang ia dan kedua orang tuanya tertawa, menyalurkan suka dan cita bersama. Kamar ini menjadi saksi seluruh kisah hidupnya yang indah menjadi kelabu seperti sekarang.

Gadis itu tersenyum kecut mengingat perilaku Ayahnya ketika memaksanya untuk pulang. Ada rasa tak rela meninggalkan rumah Fiki, dan ada rasa sukar berada di sini.

"Ayah emang bener-bener berubah, dia bukan ayah yang gue kenal." Kiana bergumam demikian.

Tatapan gadis itu beralih pada satu objek. Yaitu sebuah figura yang berdiri di meja nakas, menampilkan sorot kebahagiaan dari figura tersebut. Di mana ia dan kedua orang tuanya bersama.

Ibu dengan senyum hangatnya, Ayah dengan senyum tulusnya dan dirinya dengan senyum bahagia. Ah, hari itu. Hari di saat dirinya merayakan ulang tahun ke delapan tahun.

Ia bergerak untuk mendekati figura tersebut, mengambilnya dan mengusapnya. "Andai Ibu enggak pergi duluan, pasti aku enggak kayak gini, Bu. Cuma Ibu yang tahu apa keinginanku, cuma Ibu yang mengerti aku. Kenapa ya, setiap orang baik itu selalu pergi duluan."

"Ibu ... aku rindu sama Ibu, boleh?"

"Aku minta agar Ibu datang menemuiku, boleh?"

"Atau, boleh enggak aku ikut dengan Ibu?"

"NABILA?!"

"NABILAAAAA!"

Kiana menyeka air matanya, ia mendengkus mendengar suara teriakan adik tirinya itu. Ada apa sih dibawah sana, sampai suara menyebalkan itu sampai terdengar di kamarnya?

Gadis itu memutuskan untuk turun ke bawah, setelah sampai pemandangan yang ia lihat adalah tubuh mungil yang tergeletak di lantai dekat anak tangga. Dan sosok Tasya berada di dekat tubuh itu, mengguncangnya sambil menangis.

"Nabila kamu kenapa? Kamu jangan tinggalin kakak!"

Kiana terdiam, ia bingung harus bagaimana. Satu sisi ia benci pada kedua anak itu, karena mereka menjadi salah satu alasan ayahnya berpaling darinya. Namun sisi lain pun ada, sisi nuraninya, ada rasa ingin menghampiri dan membawa tubuh itu ke rumah sakit. Namun kakinya terasa kaku untuk mendekatinya.

Marlina. Satu nama di kepala Kiana adalah wanita itu, namun dimana ibu sambungnya itu berada?

"Nabila ... Bangun! Ayo bangun...." Tasya terus menangis. Posisi gadis itu membelakangi Kiana yang berdiri.

Kiana bingung, akhirnya ia memutuskan mendekat. Membuang semua ego yang ada dalam dirinya, ia memang benci pada Marlina serta anak-anaknya tapi bukan berarti sisi manusiawinya hilang.

"Nabila kenapa?"

Tasya segera mendongak, gadis itu menatap Kiana sedih. "Kak, Nabila pingsan. Tolongin..." Gadis itu menatap penuh harap pada Kiana.

"Iya, ayo bantu gue. Lo cari Mang Ujang sana, biar gue bawa Nabila ke depan." Tasya mengangguk cepat. Baginya keselamatan Nabila itu penting.

Kiana berhasil membawa Nabila ke depan, bertepatan dengan Mang Ujang yang menghampirinya. "Astaghfirullah, neng Nabila kenapa non?" tanyanya panik.

Kiana menggeleng. "Enggak tau, tapi kita harus ke rumah sakit Mang," pintanya tergesa. Gadis itu jadi ikut panik ternyata.

Mang Ujang mengangguk. Lalu mereka memasuki mobil menuju rumah sakit, meninggalkan bi Murni yang sedang menatap cemas mobil tersebut dari kejauhan.

Tak lama sebuah taksi berhenti di depan rumah, ternyata Marlina. Wanita itu seperti habis belanja, setelah membayar pada supir wanita itu memasuki rumah dengan senyum tipisnya.

3 Mastah untuk Kiana | UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang