Hari demi hari terlewati. Perasaan sepi di dada Abah Muntaz dan Umi Sysy tergerus waktu. Keduanya saling bahu membahu mencurahkan bathin dan dhohir untuk memajukan pondok.
Tak terasa penantian mereka telah berakhir. Dengan bergulirnya siang dan malam, kedua orang tua itu belajar arti kehidupan yang sesungguhnya. Yang begitu sayang untuk dilewati dengan sia-sia tanpa menggerakkan lisan dan hati untuk menyeru pada kebesaran Allah. Dan sejatinya di dunia segala yang mereka senangi adalah fana. Yang mereka cintai dan usahakan akan meninggalkan mereka.
Pagi ini, suasana pondok begitu cerah. Tentu saja karena kabar keberhasilan Gus Kembar menuntut ilmu di Mesir. Gus Kembar telah menuntaskan kewajibannya di negeri padang pasir itu, dan hari ini akan tiba di Indonesia. Sukacita terasa begitu pekat menyelimuti hati setiap orang di pondok.
"Gus Kembar sampun dugi?" suara salah satu santri yang turut membantu di ndalem. Umi Sysy yang tak sengaja lewat tertarik untuk mendengar bisik-bisik para santri tentang kepulangan putra-putranya.
"Iyo, Mbak. Kata lurah pondok, Gus kembar niku nggianteng," komen santri yang lain. Membuat Umi Sysy tersenyum. Tapi setelahnya Umi Sysy tercengang. Seseorang telah mencubit pipinya.
"Abah?" Umi Sysy segera menunduk, sebal tapi juga bahagia. Sejak kepergian Gus Kembar, Abah Muntaz selalu menyempatkan waktu untuk berbincang dengan istrinya.
"Enten menopo, Bah?" Umi Sysy bertanya. Pipinya kini merona, tak sengaja tertangkap mata Abah Muntaz.
"Ya umi yang kenapa? Kok senyum sendiri?" Abah Muntaz balik bertanya.
"Niku, Mbak kadhamah ngomongin Gus Kembar. Tirose, ...."
"Pasti terpesona sama kenggantengannya, jelas. Nggantengnya nurun dari Abahnya." Gus Muntaz menyentuh dagunya yang berjenggot.
"Wes tho, Bah. Ojo kumat." Umi Sysy menggeleng. Tak habis pikir bahwa sifat suaminya tak berubah sama sekali.
"Kumat opo tho, mik. Ini fakta dan harus diterima." Abah Muntaz menatap jendela. Tak menyangka jika hatinya bisa menerima kehadiran umi Sysy dan hari demi hari terasa indah.
Terkadang Abah Muntaz merindukan Ning Iyyah, tapi di sisi lain ia merasa cukup dengan kehadiran Umi Sysy. Ia hanya berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya.
"Iya, Bah. Njenengan niku ngguanteng." Umi Sysy menutup perbincangan yang tidak berfaedah itu.
"Ngganteng, baik hati, tidak sombong, dan suamimu, Mik. Yang artinya kau beruntung punya suami aku, Gus Muntaz Alfaruqi." Abah Muntaz kembali membuka percakapan. Seakan tak ingin mengakhiri kebersamaan mereka.
"Nggeh, Bah. Sampun nggeh? Kulo ajenge siap-siap." Umi Sysy bangkit dan ingin berjalan, tapi ditahan oleh tangan Abah Muntaz.
"Menopo tho, Bah, kok nggeh iseng men?" Umi Sysy melirik heran kepada suaminya. Bisa dibilang umi Sysy bosan dengan kata-kata Abah Muntaz yang masih sama seperti biasanya. Selalu berkata Umi Sysy beruntung mendapat suami seperti Abah Muntaz.
Abah Muntaz terlihat cemberut. Terkadang ia merasa gagal menciptakan romantisme dalam hubungannya dengan sang istri. Setiap guyonan terasa garing. Hanya saja Umi Sysy begitu menjaga perasaan suaminya sampai berpura-pura larut dalam candaan suaminya, begitulah pikir Abah Muntaz.
"Sudah, Bah. Ampun ngambek, putra njenengan sudah sampai." Umi Sysy melangkah ke depan suaminya lalu merapikan kopiah yang sedikit miring.
"Yowes, ayo nang ngarep. Aku wes kangen arek-arek." Abah Muntaz berlalu dari depan istrinya.
Alih-alih mengikuti langkah suaminya, Umi Sysy mematung di tempat. Keceriaan tadi berubah menjadi haru dan sedikit ketakutan. Tapi sekali lagi lisannya berdoa agar apapun yang terjadi setelah ini adalah yang terbaik menurut Allah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Persimpangan Sirr
RomanceJodoh adalah rahasia. Lalu bagaimana jika kau mendapat bisikan tentangnya? Kau tahu jalanmu tidak pernah mudah. Bagaimana jika ditambah seseorang yang ingin merebut jodohmu adalah saudaramu sendiri? Dalam Sirr, kau menyimpan ketakutan, ketidakberday...