Bincang Bersama Ayah Bunda

14 0 0
                                    

Aku seakan memberi harapan untuk Gio sejak kedatangannya ke rumah hari itu. Aku seperti ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi, saat ini aku memang benar-benar tidak ingin beralih rasa. Aku masih akan selalu berharap, laki-laki yang menemui ayahku untuk niat serius itu adalah Dimas. Sampai detik ini doaku tak pernah berubah.

Aku merasa bersalah. Kenapa aku memberi kesempatan untuk Gio memperjuangkanku? Aku sama sekali tak pernah ingin diperjuangkan olehnya.

Gio memang laki-laki baik dan lembut seperti Dimas. Tapi bagaimanapun, Gio tak pernah bisa merebut hatiku seperti yang Dimas lakukan.

Aku merasa bersalah dan tidak ingin semuanya berjalan palsu semakin larut.

***

Bunda sedang menikmati teh buatanku bersama ayah. Melihatnya bahagia bercengkrama, aku merasa bersyukur hadir disini karena mereka. Orangtua yang selalu hangat dan romantis tak lekang oleh waktu. Bunda sepertinya berhasil menjadi istri sholehah penyejuk hati suami. Aku sungguh ingin sepertinya kelak.

Tentang kisah cinta mereka selalu ingin untuk terus aku dengar, tak pernah bosan. Bundaku adalah anak semata wayang kecintaan oma dan opaku. Sebelum menikah, pilihan oma dan opa menjadi alasan kuat bunda menerima ayah.

Ketika masih SMA, bunda banyak digemari lelaki sepantarannya. Bunda yang berparas cantik dan pintar menjadi sebabnya. Namun, bunda selalu menolak apapun alasan laki-laki itu mendekatinya. Bunda tak pernah ingin pacaran, ingin didekati hanya untuk tujuan menikah. Tapi sayangnya semua laki-laki itu tak pernah punya niat serius seperti yang bunda inginkan.

Bertahun-tahun bunda sendiri tak punya teman dekat untuk penambah semangat seperti yang banyak orang lantunkan. Meskipun begitu, bunda tetap maju dan berprestasi.

Di umur bunda ke-25 tahun, oma mulai gelisah tentang anak gadisnya. Oma sangat paham setiap hamba Allah akan ada jodohnya. Tapi, Allah juga minta kita untuk berusaha. Tidak mungkin Allah beri sesuatu tanpa ada usaha dari umat-Nya. Sulit dipercaya seseorang akan bertemu jodohnya jika hanya tiduran di rumah. Memang diperlukan usaha seperti yang diperintahkan Tuhan, meskipun hanya usaha untuk menerima perkenalan yang dijembatani oleh orangtua.

Karena hal tersebut, oma berniat mengenalkan sosok laki-laki yang orangtuanya telah lama saling mengenal.

Laki-laki itu adalah ayahku kini. Manusia yang menjadi cinta pertamaku. Tentang ayah, memang takkan pernah bisa ditolak bunda saat itu. Parasnya yang tampan, bertutur penuh kelembutan, bertanggung jawab, paham agama dan sangat mengutamakan orangtuanya.

Bunda saat itu percaya, laki-laki yang mengerti agama dan sangat cinta orangtuanya, nanti juga akan menjaga bunda lahir bathin.

Ternyata semuanya saat ini menjadi nyata. Rumah tangganya selalu hangat penuh kasih sayang, meskipun tak punya banyak waktu di masa lampau untuk saling mengenal.

Dari perjalanan cinta ayah dan bunda, aku juga percaya tentang hubungan yang manis tak selalu harus dimulai dengan perkenalan yang lama. Karenanya aku tak pernah takut berharap dengan seseorang yang sama sekali belum bisa aku temui. Yang terpenting kita punya kepercayaan akan dia yang takkan menyakiti.

Aku merusak bincang hangat antara malaikat hidupku itu.

"Bunda, aku mau bicara. Sepertinya penting sekali" Ucapku sambil duduk di hadapan ayah dan bunda.

"Ada apa sayang? Ayah boleh dengar?" Tanya ayah sambil tersenyum manis.

"Yaa boleh dong ayah. Ini tentang Gio. Aku merasa bersalah karena hari itu seperti memberinya kesempatan, padahal aku hanya terpaksa berlaku baik saat itu. Aku takut Gio nanti berpikiran aneh dan merasa diterima disini." Jelasku dengan wajah cemberut penuh penyesalan.

"Bunda tidak pernah ingin memaksa kamu berhubungan dengan siapapun nak. Tapi di umur sekarang, kamu gabisa terus-terusan begini sayang. Bunda kasian liat kamu. Gimana nanti kalo ayah dan bunda tiba-tiba gaada dan kamu jadi sendirian?" Bunda seketika menangis haru beralih memeluk aku.

Suasananya tiba-tiba sendu bukan seperti yang aku harapkan saat itu. Aku tak pernah berpikir bunda punya pemikiran begitu jauh. Sebagai anak tunggal, aku memang tidak akan punya tempat bersandar selain ayah dan bunda. Karena bunda juga anak tunggal dan ayah yang sudah kehilangan saudaranya ketika musibah kecelakaan menimpa keluarganya 5 tahun lalu. Sungguh akan benar-benar sendiri.

Aku kehilangan jawaban untuk menimpali perkataan bunda, kata-kataku mendadak hilang. Aku seperti merasa bersalah memutus harapan bunda tentang calon penerusnya untuk menjagaku.

"Dita tau kan nak? Ayah dan bunda selama ini tidak pernah memaksakan keinginan kami sama kamu. Untuk hal ini sebetulnya bukan semata-mata ingin kami, tapi kewajiban kami untuk memastikan kamu ada pelindungnya nak. Semuanya demi kebahagiaan kamu sayang" Ayah berucap dengan nada lembut yang seketika membuka pikiranku.

"Aku paham semua alasan ayah bunda soal ini. Tapi, tidak harus Gio kan orangnya? Aku bukannya menolak untuk belajar menata niat untuk hal serius, tapi aku gabisa kalau orangnya adalah Gio." Nadaku melemah di ujung jawabanku.

"Kenapa sayang? Ada apa? Bukankah Gio sosok yang diidamkan banyak wanita?" Tanya bunda menatap langsung bola mataku.

Alasan semua itu sejujurnya karena ada sosok lain yang tak luput aku doakan sejak lama. Aku meminta sama Tuhan, agar laki-laki itu yang akan menjadi suamiku kelak. Kenapa? Karena hanya dia yang mampu membuat hatiku bertekuk lutut padanya. Semuanya mengalir tanpa ada dorongan apapun. Karena begitu alaminya rasa ini, aku yakin dia adalah sosok yang Tuhan janjikan untuk setiap umat-Nya.

Tapi, aku selama ini sulit jujur tentang perasaanku kepada ayah dan bunda. Aku selalu menutup diri tentang hal ini. Karena bagiku, jika sesuatu belum pasti, aku tidak ingin membuat ayah dan bunda punya harapan yang nantinya bisa saja runtuh seketika.

Namun, hari ini sudah waktunya untuk berkata jujur agar aku tidak terus-terusan didesak untuk seseorang yang sama sekali tak pernah aku inginkan.

"Ayah bunda, aku mencintai sosok laki-laki lain" Jawabku singkat namun terasa berat diucap.

"Siapa nak? Siapa laki-laki itu?" Tanya ayah begitu penasaran.

Ayah dan bundaku tentu belum pernah mengenal Dimas sebelumnya, mendengar namanya pun tak pernah. Tapi aku yakin, ketika nanti bertemu Dimas, orangtuaku akan ikut jatuh hati. Meskipun aku tak tau pasti kapan waktu pertemuan itu.

"Namanya Dimas. Teman SMA Dita dulu, anaknya Tante Nana bun." Ucapku menatap bunda.

"Anaknya Nana? Kamu yakin sayang? Sejak kapan kamu suka sama dia? Kenapa bunda baru tahu sekarang nak? Terus Dimasnya gimana?" Bunda menghujaniku dengan banyak pertanyaan.

Kemudian aku mulai membuka lembaran lama yang tak pernah usang. Disanalah kisah-kisahku tergambar jelas meskipun belum jelas akhirnya seperti apa. Aku bercerita tanpa tertinggal satu momenpun kepada ayah dan bunda. Keduanya berhak tahu semuanya, apalagi tentang perasaanku yang belum Dimas ketahui.

Tapi yang terpenting, ayah dan bunda setelah ini akan ikut alur permainanku untuk menyimpan tentang rasa ini rapat-rapat. Tak boleh satupun cerita ini sampai ke telinga oranglain tanpa izin dariku.

***

Dalam Diam Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang