meet

228 17 6
                                    

Sore ini Dion kembali dihadapkan pada permainan semesta.

Tama terlihat sedang duduk sembari menyesap kopinya saat pemuda itu masuk ke rumah. Jangan lupakan istrinya yang terfokus pada majalah di tangannya.

"Papa putuskan mencari ART untuk menemani kamu di rumah," kata pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.

Tidakkah ia menyadari kalau putranya tak membutuhkan ART? Kenapa di saat seperti ini justru orang asing yang dipilih untuk menemaninya? Kenapa bukan dia saja yang tinggal di rumah untuk menemani Dion?

"Dion gak butuh, Dion bisa urus diri sendiri." Pemuda itu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti menuju kamarnya di lantai atas.

"Jadi anak bisanya nyusahin. Bukannya nurut malah membantah," gumam Carroline nyaring. Sudah pasti untuk menyindir anak tirinya itu.

Tak peduli, pemuda tadi memasuki kamarnya lalu mengunci pintu. Ia mengembuskan napasnya kasar, sebenarnya apa kesalahan yang dia lakukan pada kehidupan sebelumnya hingga ia mendapat hukuman seperti ini?

Pintu terketuk membuatnya tersadar, siapa yang berani menggangu harinya. Ingatkan Dion untuk memakinya nanti!

"Maaf, Kak, udah waktunya ma--"

"Siapa lo? Ngapain di rumah gue?" kata Dion memotong ucapan seseorang di depannya.

"Aku Anya," kata gadis itu, "aku disuruh Ibu untuk manggil kak Dion karna udah waktunya makan malam," jelasnya.

Dion mematung, rupanya ia ketiduran tadi sore. Ayahnya sangat keras kepala, pria tua itu benar-benar memanggil ART. Ia tak peduli, dengan baju sekolah yang masih melekat pemuda itu turun untuk makan malam.

Ah, dia hampir melupakan sesuatu. "Lain kali, bersihkan diri lo dulu dan jangan lupa cuci muka, lo kayak gembel!" makinya pada gadis yang masih berdiri di belakangnya.

Gadis dengan kacamata kotak, kulit coklat yang sebenarnya eksotis juga rambut sepunggung yang dikepang dua itu mematung.

Tidak perlu memikirkan Anya, ia sudah sering mendapatkan kata-kata pedas seperti tadi. Hatinya sudah terbiasa.

Tapi tunggu, gadis itu berbohong pada perasaannya. Ia selalu menangis setiap malam tanpa tahu apa yang harus ia lakukan untuk membungkam mulut orang-orang itu.

"Perkenalkan, saya Ratih, ART baru," ucap seorang wanita paruh baya memperkenalkan diri, "silakan, mas Dion," kata Ratih --ibu Anya-- dengan sopan sambil menarik kursi untuk atasannya.

Tama datang sambil menggandeng tangan Carroline saat makan malam.

"Besok kamu sudah bisa mulai sekolah, Anya," katanya pada Anya.

"Terima kasih, Tuan."

-o0o-

Pagi ini rumah tuan Tama lebih ramai dari biasanya. Tentu saja karena hadirnya ART baru yang sibuk menyiapkan ini dan itu.

Tama berjalan cepat menuju pintu, "Titip Dion, Bi," ucapnya pada Ratih.

"Siap, Tuan."

Muak. Mengapa memercayakan orang lain untuk mengurusnya? Dion bukanlah anak kecil yang harus dituntun untuk melakukan segalanya. Tidak bisakah dunia membiarkannya tenang?

Pemuda itu berjalan cepat menuju motornya. Ada yang aneh, Ratih terdengar berteriak dari dalam rumah. Namun, lagi dan lagi Dion tak peduli sama sekali, itu bukan urusannya.

"None of my business," gumamnya dalam hati.

Satu lagi permainan yang rutin pemuda itu lakukan. Yap, menulikan pendengaran untuk sementara saat berada di lorong sekolah, tentu saja agar tak mendengar semua ucapan warga sekolah yang membencinya.

Tapi ada yang aneh kali ini.

"Ternyata Dion ganteng juga."

"Ah ... dia terlalu dingin, pantes aja ga punya temen."

"Coba aja dia senyum. Pasti tambah keren."

Semua itu ... tidak masuk akal. Iya, 'kan?

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang