🕊. ―second

469 59 5
                                    

Pulang dari rumah Ayah dan Ibu Sojung, Seokjin bersama Sojung menjemput Fany dari sekolahnya sejenak. Kemudian bergegas kembali ke rumah Ibu Seokjin.

Sampai di sana, Fany diperintahkan untuk mandi lebih dulu oleh Sojung. Gadis kecil itu lantas mengangguk, dan pergi meninggalkan kamarnya menuju kamar mandi.

Sementara Seokjin yang baru masuk dari luar, langsung pergi ke kamarnya menyusul Sojung, dan mengunci pintu kamarnya.

Sojung yang sedang duduk di meja rias, lantas menatap Seokjin bingung. "Kenapa pintunya dikunci?" tanya Sojung.

"Aku mau ngomong sama kamu, sebentar," kata Seokjin.

"Mau ngomongin apa?" tanya Sojung lagi.

Seokjin melewati Sojung, dia duduk di tapi ranjang, namun posisinya tetap menghadap ke arah Sojung. "Kamu kok ... nggak pernah bilang sama aku, kalau kamu nggak mau punya anak dulu."

"Tapi tadi di rumah ayah, aku 'kan―"

"Sebelum ini, sebelum kita nikah ... kenapa kamu nggak pernah ngomong sama aku?"

Sojung menghela napas, dia akui ... mungkin dia memang salah. "Aku minta maaf, tapi sumpah ... aku punya rencana buat omongin masalah ini sama kamu. Cuma karena tadi kebetulan Ibuku nanya kayak gitu ... ya sekalian aja aku jelasin."

Seokjin menatap Sojung, kemudian kembali berkata, "Tapi kamu sadar 'kan? Kamu inget 'kan kalau semalem itu kita baru aja berhubungan. Seandainya kamu bilang lebih awal, aku nggak akan ngelakuin hal yang emang belum siap buat kamu lakuin."

Sojung meraih tangan suaminya, kemudian tersenyum tulus. "Kamu itu 'kan suami aku ... dan aku ini istri kamu. Rasanya nggak mungkin kalau aku nolak keinginan suami aku. Lagipula ... sekali berhubungan, belum tentu ngebuat aku hamil 'kan?"

"Tapi kalau seandainya itu beneran kejadian, gimana?" tanya Seokjin. "Kamu mau gugurin anak kita?"

Sojung menggelengkan kepalanya. Dia meyakinkan suaminya sekali lagi. "Nggak akan, Sayang. Pasutri lain di luar sana itu, butuh usaha yang keras, berkali-kali mereka usaha, sampai akhirnya berhasil dapet keturunan. Kita ... yang cuma ngelakuin bentuk usaha itu sekali, jelas kalah sama mereka yang bener-bener usaha. Jadi kamu tenang aja, aku nggak akan hamil. Mustahil rasanya kalau sampe aku ini hamil."

Seokjin luluh, kekhawatiran yang tadi berada di pundaknya dan menjadi beban, kini seakan sirna berkat penuturan dan senyuman yang Sojung berikan.

Sojung menghampiri suaminya, kemudian mereka berpelukan. Mereka tahu kalau mereka ini saling mencintai, makanya keduanya selalu berusaha menerima dan menuruti apa yang pasangan mereka inginkan.

Dalam pelukan itu, Sojung kembali berkata, "Sabar, ya? Suatu saat nanti, aku pasti siap buat hamil. Maafin aku, karena sekarang aku belum siap."

Sambil membelai surai panjang istrinya, Seokjin membalas, "Nggak pa-pa, Sayang."

― ♡ ―

Sojung membantu Ibu mertuanya memasak untuk menu makan malam. Dia juga membantu menyiapkan dan menata piring-piring di atas meja makan.

Begitu pintu kamarnya terbuka, Sojung tersenyum. Fany dan Seokjin kini berjalan ke arah meja makan. Basa-basi, Sojung berkata, "Eh, udah pada keluar. Baru mau Mama samperin ke kamar."

Seokjin mendekati Sojung, mengantungi ponselnya dan meraih pinggang wanita itu. Dia mengecup sekilas pipi Sojung, kemudian memuji wanita itu, "Pinter ya istriku, mau bantu-bantu Ibu masak di dapur."

Pipi Sojung memerah. Dia mencubit pelan perut Seokjin dan menjauhkan tubuhnya serta melepaskan tangan Seokjin yang setengah melingkar di pinggangnya. "Aku masih pake celemek, tau! Udah sana kamu duduk, aku mau ke belakang lagi."

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang