Chapter 31

4.9K 330 66
                                    

"Lo kenapa sih teriak-teriak nggak jelas gitu? Malu tahu dilihatin orang!"

Suara itu....

Zeva memberanikan diri menoleh ke belakang. "Efan?" kata Zeva kaget.

"Lihatnya biasa aja dong," cibir Efan. "Jangan kayak lagi lihat setan." Lanjutnya.

Zeva melipat kedua tangannya di depan dada. "Lagian, kenapa lo ada di sini? Lo nguntit gue? Sekolah lo gimana?" tanya Zeva bertubi-tubi.

"Iya, gue nguntit lo sejak siang tadi." Jawab Efan tanpa merasa bersalah. "Gue bahkan rela bolos sekolah demi lo." Tambahnya. Gaya bicara Efan benar-benar menunjukkan kalau dia itu playboy. Untung saja, Zeva sudah berpengalaman sekarang. Ia tak akan tertipu dengan gombalan Efan.

"Gue tahu nggak ada cewek secantik gue di SMA Best Hope, tapi nggak usah sampai segitunya kali!" seru Zeva sambil menatap Efan horor.

"Lo memang secantik itu sampai gue bela-belain ngehabisin duit jajan gue buat perjalanan Bandung-Jakarta," gombal Efan.

Zeva berdecak kesal. "Sa ae lu kutil badak!" ledek Zeva. "Nggak usah pake basa-basi lah. Kenapa lo nyariin gue? Mau minjam duit?"

Raut wajah Efan langsung berubah. Ia yang biasanya slengekan mendadak terlihat serius. "To the point aja ya, ngelihat dari reaksi lo tadi, pasti lo dapet surat misterius yang nggak ada nama pengirimnya kan? Amplopnya warna hitam, tulisannya tegak bersambung dengan tinta warna merah."

"KOK LO TAHU?!"

***

Zeva dan Efan duduk di sebuah cafe dekat jalan utama. Mereka memilih bangku paling pojok yang jauh dari keramaian.

"Enak banget ya cappuccino di sini," komentar Efan sambil menyesap minumannya yang baru saja datang.

Zeva mendelik kesal. "Lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Kenapa lo bisa tahu gue dapat surat itu?" Zeva mengulangi pertanyaannya tadi dengan kalimat yang berbeda.

Efan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Gue juga dapet," tuturnya. Ia memperlihatkan amplop warna hitam yang di dalamnya ada surat bertuliskan;

Jangan lupakan apa yang kamu lakukan satu setengah tahun yang lalu.

"Kayak surat pertama gue dari si Misterius," gumam Zeva.

"Lo tahu kenapa gue ke sini, Zev?" Efan menatap Zeva dengan sangat serius. "Orang yang ngirimin surat ini ada di dekat lo sekarang." Ujarnya.

Kalimat Efan itu membuat Zeva bergidik ngeri. "Dari mana lo tahu?" tanya Zeva penasaran.

"Gue ngelacak nomor resi suratnya," jawab Efan. "Walaupun nggak ada nama pengirim, gue bisa tahu kalau surat ini dikirim dari kantor pos yang ada di dekat sekolah lo." Jelasnya sambil memperlihatkan Zeva hasil pencariannya.

Zeva menganggukkan kepalanya. Selama ini dia terlalu fokus pada rasa bersalahnya atas kematian Risa dan juga fokus mendapatkan Gibran. Ia tak terpikirkan untuk melacak nomor resi surat yang dikirimkan si Misterius.

"Ada orang yang lo curigai?" selidik Efan.

"Ada," jawab Zeva tanpa ragu-ragu. Walaupun selama ini Zeva berusaha untuk tidak percaya kalau Keenan adalah pengirim surat misterius, semua bukti tertuju pada kakak kelasnya itu.

"Siapa?" tanya Efan.

Setelah berpikir beberapa saat, Zeva menjawab. "Keenan, kakak kelas gue."

"Kenapa lo berpikiran kalau dia pelakunya?" Efan mengerutkan dahinya. Zeva jadi merasa mereka berdua seperti sedang berada di sebuah novel detektif.

"Tulisan tangannya mirip dengan tulisan yang ada di surat," jawab Zeva.

"Itu aja?" setelah mendapat anggukan dari Zeva, Efan kembali bersuara. "Lo nggak bisa nyimpulin dari tulisan tangan aja, kecuali kalau lo lihat langsung dia lagi nulis surat misteriusnya." Gerutu Efan.

"Ya kali dia nulis langsung suratnya depan gue!" marah Zeva. Tapi, kalimat Efan barusan sukses membuat Zeva berpikir ulang. Apa gue terlalu cepat menyimpulkan kalau Keenan itu si Misterius? Selain tulisan mereka sama, gue nggak punya bukti lain kan?

"Ya udah, besok gue coba nguntit dia." Kata Efan mengalah.

"Sekolah lo gimana?" tanya Zeva. Efan tak mungkin bolos sekolah terus demi mencari si Misterius di sini.

"Izin umroh," jawab Efan dengan santainya.

"Parah lo!" Zeva menjitak kepala Efan.

"Jadi, gue harus izin apa? Kalau izin sakit, ntar gue sakit beneran. Mending izin umroh aja biar umroh beneran." Efan beralasan.

Zeva berdecak kesal saat mendengar alasan Efan yang sangat tidak masuk akal. "Terus, lo tidur di mana?" tanya Zeva.

"Memangnya di mana lagi? Ya, rumah lo, lah!" Efan langsung mengerang kesakitan saat Zeva menjitak kepalanya lebih keras kali ini. "Ampun! Jangan jitak kepala gue keras-keras! Gini-gini kepala gue masih dipake!" Protes Efan.

Efan menarik nafas panjang sebelum lanjut berbicara. "Gue tidur di rumah tante gue, tapi kalau dibolehin gue mau kok tidur di rumah lo." Ternyata, cowok playboy itu tak jera juga menggoda Zeva. Sebelum Zeva kembali menjitaknya, Efan melindungi kepalanya dengan tas pinggangnya.

"Diem lo, kutil badak!" Zeva memukulinya dengan buku menu.

Efan malah tertawa cengengesan. "Walaupun gue kutil badak, lo tetap seneng kan gue datang? Lo ketemu teman seperjuangan yang sama-sama diteror."

Zeva terdiam. Perkataan Efan memang benar. Sejak Efan bilang dia juga menerima surat dari si Misterius, Zeva jadi merasa tak sendirian. Walaupun Efan agak bodoh, tak masalah. Berdua lebih baik daripada sendiri.

***

Dark Secret [Akan Diterbitkan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang