♪ Alex & Sierra — Bumper Cars
♪ Michael Schulte — You Said You'd Grow Old With Me────────────
[AUTUMN : 2017]
JIMIN sudah mengenakan mantel ketakutan sejak lama. Cemas, distres, sulit tidur pun tidak absen dari aktivitas. Purnama demi purnama, dia akan terlelap hanya untuk terbangun dalam sepersekian sekon oleh bunga tidur. Si pemuda enggan menyebutnya mimpi, tidak ketika prosesnya diselingi oleh teriakan histeris, respirasi rancu dan peluh yang menetes eksesif.
Terkadang mimpi-mimpi tersebut akan inheren padanya selama berminggu-minggu, terkadang mudah terlupakan. Tidak lama setelah insiden pertama, Nyonya Park merekomendasikan agar dia mencatat di sebuah jurnal khusus, mengarsir kronik, setiap detail, hal-hal yang bisa diingat dari skenario. Dan sekali mentari berpendar, Nyonya Park akan mengambilnya dan menghilang seharian.
Entah Nyonya Park berangkat demi melaksanakan peran sebagai seorang Ibu, atau hanya menelisik konsolasi di luar sana sebab mengurus anak yang tidak memiliki kestabilan persepsi tergolong sangat membebani. Tetapi, Jimin tidak bodoh, dia tahu ke mana sang Ibu membawa jurnal itu.
Setelah semua, lembaran kartu nama dan brosur dari ragam konsultasi dengan psikolog yang berserakan di ruang kerjanya sudah merespons segala inkuiri.
Jimin tidak gila, dia bisa memastikan itu. Ya, ada saat-saat ketika dia merasakan dirinya terdistorsi dari realita, tetapi itu merupakan momen definit, hanya terjadi apabila ada pemicu, yang adalah memori masa lalu, menikam bagian belakang serebrum, mengiris bagian sensitif sehingga mengekang logika dan sekadar meninggalkan absurditas.
Namun, Jimin merupakan seorang yang emotif, pemuda itu mengetahui satu fakta bahwa mempertahankan sikap positif akan membantu mengimplisitkan kekhawatiran, dan cara itu, baginya, adalah metode optimal guna membuat semua orang tidak terlalu mencemaskan kondisinya, menjauhkannya dari atensi.
Jimin pun menyadari adanya transisi drastis, atau lebih menjadi pendiam, menurut Tuan dan Nyonya Park. Tetapi, siapa yang bisa menyalahkannya? Dia dipaksa untuk tumbuh terlampau cepat, seringkali terdesak untuk mengambil tindakan sendiri demi membebaskan kedua orangtua dari skandal. Dan kala itu, dia baru berusia dua belas tahun.
Apa yang kamu harapkan dari seseorang yang nyaris belum mengenal dunia, namun harus menghadapi manipulatornya terlebih dahulu? Eksistensinya berada di garis tipis, setidaknya itulah yang sempat dia pikirkan selama tujuh tahun terakhir.
Tidak sampai Nyonya Park mengusulkan untuk membarui lanskap, menyingkir dari Busan demi menganulir fragmen koruptif. Ya, Jimin menyadari Baldwin County merupakan lokasi Esme tinggal dan dia mengenang cukup banyak kepingan negatif perihal gadis itu.
Tetapi sisi baiknya, Fairhope memiliki Emori Gray. Adik perempuan, saudara kandung dengan disparitas yang sangat kontras dari si sulung, gadis yang kini menaburi konfeti pada setiap fraktur pada dirinya.
Dan seiring berlalunya waktu, alterasi terjadi. Sedikit demi sedikit. Muram berubah menjadi senyum, kehampaan melebur menjadi euforia istimewa, monoton beralih menjadi bervariasi, Jimin benar-benar bisa merasakan segala sentimen yang sempat terhilang.
Dan yang tersisa kini hanyalah rasa syukur sebab serpihan masa lalu itu, meski traumatis, telah membawa Jimin pada gadisnya. Pertemuan dengan Esme kala itu, telah membawanya pada Emori.
"Di mana adikku dan apa yang kamu lakukan padanya?"
Jimin segera mendongak, menemukan Miyeon berdiri di ambang pintu dengan berkacak pinggang sebelum menyunggingkan senyum. "Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarterback
Fanfiction❝I'm truly sorry, but it's time you got to be your own quarterback.❞ ──────────── Park Jimin • Female OC © yourdraga 2020