Deo bol il eopseo majimak insaya
Hal maldo eopseo sagwadohajima
Jal bwa neun geu kkol naji
...Mega memasukan semua buku untuk jadwal di hari kamis ke dalam tas, bibirnya dengan senang menyenandungkan lagu Mic Drop milik Bangtan Boys. Tubuhnya sudah mengenakan seragam batik identitas, karena memang seragam di sekolahnya digunakan dua hari. Untung saja kemarin sore dia langsung mencuci dan mengeringkannya dengan mesin cuci, ditambah disetrika tadi setelah subuh.
"Oke sip, Mega udah cantik," ujarnya sembari menatap pantulan wajahnya di layar ponsel. Jarinya menekan tombol power. "Jodoh, doain Mega supaya gak malu pas di sekolah, ya?" senyumnya terbentuk sempurna saat Screensever dengan foto RM terlihat.
"Mega, ayo sarapan!"
"Oke, Ma."
Mega memasukan ponselnya ke dalam tas, hari ini dia bisa membawa ponsel karena ada pelajaran sejarah peminatan. Di sekolah Mega memang ada larangan membawa ponsel ke sekolah, jika pun membawa harus di simpan di bagasi motor atau di titipan ke guru piket. Tapi, dengan peraturan seketat apa pun, pasti selalu anak-anak yang membantah.
You hesitate
All your mistakes
Stop wasting my time
So you like playing games
Roll the dice again
But beware, you take care
You're in danger tonightHari ini Mega membawa motor, melajukannya dengan kecepatan sedang. Bibirnya bersenangdung dengan semangat. Sesekali suara kelaksonnya akan terdengar, menyapa orang yang dikenalnya. Senyumnya semakin melebar saat berbelok memasuki gerbang sekolah, tapi yang tidak Mega sadari adalah sepeda motor yang juga berbelok dengan cepat dari kiri, menyenggol stang motornya.
Bruk!
"Astagfirullahalazim!"
Dia yang tidak siap, akhirnya harus merasakan sebelah kakinya tertimpa motor, dan kepala yang beradu dengan aspal untung saja dia mengenakan helm. Motor di depan dan belakangnya langsung berhenti. Bapak-ibu guru yang sedang piket (menyambut siswa di gerbang) dan pengendara motor segera mengahampirinya. Membantu membangunkan motornya,
"Ada yang sakit, nak?" Bu Teti, guru wanita yang tengah piket bertanya setelah membantu Mega duduk di depan pos satpam. Helmnya sudah di buka. Mega mengangguk dengan tangan gemetar.
Mega memperlihatkan tangannya yang tadi tertimpa stang motor. Setelah Bu Teti melihat keadaaan Mega dengan seksama, beliau menghembuskan napas lega. "Alhamdulilah gak sampai luka, paling lecet-lecet."
Mega mendongak saat sebuah kunci di julurkan kearahnya. "Kunci motor lo." Mega mengangguk, mengambilnya dengan pelan. "Terima kasih, Rifqi."
Bu. Teti yang tadi tengah menasihati siswa yang menyalip Mega, menoleh kearah mereka. "Bawa Mega ke UKS ya, Ki? Anak PMR ada yang jaga di sana." Rifqi mengangguk.
"Ayo," ujarnya dengan nada biasa, tapi Mega tak mengerti. Rifqi berdiri di depannya tanpa niat membantunya, hanya mengajak.
Sebelum Mega sempat bertanya, seorang anggota PMR sudah lebih dulu membantunya berdiri, melepas tas Mega dan memberikannya kepada Rifqi. "Tolong bawain, ya, kak." Pintanya dengan senyum manis, Rifqi mengangguk dan mengikuti Mega yang di papah.
"Untung aja kak Mega cuma bared gak sampai luka." Mega mengangguk setuju dalam hati tak henti mengucap syukur.
"Tapi, kaki kak Mega terkilir harus di urut dulu." Mega melotot, gadis itu tak merasa jika kakinya terkilir. "Eh, kaki aku gak papa, gak sakit kok."
Dira, anak PMR itu tersenyum setelah melepas sepatu dan kaus kaki Mega. "Kalau setelah kejadian emang gak langsung kerasak kan masih kebal, tapi sekarang pasti sakit." Tangan Dira dengan sengaja menekan pergelangan kanan Mega yang sedikit bengkak dan kebiruan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lir Ilir (Dimensi 1 dan 2, Selesai)
Teen Fiction[Re-publish] Lir Ilir (Dimensi 1), dimulai dari Prolog - Part 15. Kebencian Mega terhadap Seni Budaya membawanya kembali kemasa lalu. Seorang pemuda misterius yang gagah berani menyelamatkannya dari kejaran hewan buas. Lalu mampukah Mega kembali ke...