God, it's unfair. Why I have to deeply in love with him but he even doesn't love me?
Katanya dalam hidup ini, kita disuruh memilih satu diantara dua hal yang harus kita prioritaskan. Hal yang pertama adalah sesuatu yang bisa kita atur dan hal selanjutnya adalah sesuatu yang tidak bisa kita atur. Kita harus memilih satu diantaranya, apapun resikonya, pilihan harus ditetapkan. Ada banyak orang yang hidup dengan banyak pilihan, ada juga orang-orang yang hanya menjalankan hidupnya tanpa tahu dan faham bahwa hidup ini penuh dengan pilihan, mereka hanya mengalir, mengikuti alur dan melaju begitu saja, terasa menyenangkan tapi sesungguhnya itu jebakan yang menakutkan tapi memiliki banyak sekali pilihan juga tidak kalah menakutkan. Sama-sama memiliki resiko.
Arja Tirasha atau biasa dipanggil Jati, remaja peralihan berusia sembilan belas tahun yang sekarang sedang menempuh kuliah dijurusan teknik sipil itu terseyum getir melihat tumpukkan baju di depannya yang terbakar. Nyala api memantul dari bola mata jernihnya, kobaran besar itu semakin menjadi-jadi. Jati menghela nafas berat, merenggangkan otot-ototnya yang kaku, pekerjaannya telah usai satu. Memilih untuk terus menyimpan baju-baju yang ditinggalkan Ibunya atau membakarnya, dia memilih membakarnya yang beresiko pada tidak ada lagi kenang-kenangan fisik dari mendiang Ibunya yang ia simpan sekarang tapi Jati tak ambil pusing, tangannya kemudian terarah ke saku celananya untuk mengambil suatu benda yang akhir-akhir ini menjadi candu, membukanya kemudian meletakkan satu batang rokok di bibirnya dan bersiap untuk membakar ujungnya sebelum terdengar suara,
"Buset anaknya lagi galau nich!" Jati memutar tubuhnya 180 derajat untuk mendapati seonggok daging berjenis perempuan yang berdiri sambil tersenyum *merk pasta gigi* dan melambai kearahnya, namanya Hala Faleesha tapi Jati suka memanggilnya Lala. Jati menurunkan rokoknya.
"Ngapain?" Bukannya menjawab, Lala malah mendekat dan semakin dekat hingga menyisakan jarak sejengkal antara dirinya dengan Jati, Lala tidak terlalu tinggi hanya sedagu Jati. Tepat di hadapan Jati, gadis itu mendongak kemudian tersenyum dan mendaratkan satu kecupan di pipi kiri Jati. Jati hanya terdiam, sudah terbiasa dengan hal ini, satu kecupan di pipi kiri berarti satu batang rokok untuk Lala tapi Lala bukan perokok, batang rokok yang didapatkannya dari Jati itu ia buang. Tangan gadis itu meraih sebatang rokok dari bibir Jati lalu membuangnya ke kobaran api.
"Cerita kek kalo ada masalah! Bukannya malah main api! Nanti kalo rumah Eyang kebakaran gimana?" Jati tertawa renyah membuat Lala cemberut melihatnya, laki-laki itu mengelus rambut Lala pelan dengan kedua tangannya. Sangat lembut dan Lala sangat suka.
"Halaman rumah Eyang ini luas, La. Sepetak buat bakar-bakaran nggak ngaruh apa-apa." Lala mengambil tangan Jati yang mengelus rambutnya dan menangkupkan ke kedua pipinya, hangat menjalari dan Lala sangat suka sensasi ini. Dia tersenyum hangat yang juga dibalas senyuman menenangkan Jati dan tatapan teduhnya, tiba-tiba perasaan itu menyeruak, Jati menang lagi untuk kali ini, Lala lagi-lagi kalah.
"Itu baju siapa emang?" Mereka sudah merubah posisi saling menatap ke nyala api yang sebentar lagi padam, bau menyengat khas membakar kain itu tercium cukup pekat.
"Bunda." Jati menjawab singkat. Lala tidak lagi bertanya, dia menggenggam jemari laki-laki di sampingnya yang tengah menatap nyala api di hadapannya dengan emosi tak terprediksi. Jati membalas genggaman Lala lebih erat, kehangatan semakin menjalar kuat pada keduanya namun perlahan ekspresi Jati menjadi berbeda, sendu dan Lala tidak suka hal itu.
"Masuk yuk!" Lala menarik tangan Jati.
Jati hanya sendiri sekarang, kedua Eyangnya tengah mengunjungi perkebunan teh dan villa mereka di daerah Puncak Bogor, Jati tidak terlalu khawatir membiarkan mereka mengemudi hanya berdua sebab Eyangnya masih sangat segar untuk ukuran usia enam puluh memasuki tujuh puluhan, lagi pula sang Eyang juga merupakan atlet silat pada masanya jadi kekuatannya masih terolah dengan sangat baik, begitupun Eyang Putrinya yang masih suka olahraga setiap pagi, mereka berdua masih sangat sehat dan Jati senang dengan fakta itu sehingga dapat mengurangi sedikit kekhawatiran dibenaknya.
"Gue nanya lo ngapain kesini La? Kok nggak dijawab?" Mereka sudah berada di ruang keluarga rumah Eyang, Jati baru saja menyuguhkan minuman untuk Lala.
"Makasih."
"Iya, abisin." Dengan dua kali teguk, minuman itu tandas begitu saja. Jati tersenyum puas melihat gadis di hadapannya.
"Kesini ngapain? Ditanyain juga." Jati mencubit hidung Lala.
"Ih masa iya nggak boleh main?" Lala cemberut, tawa Jati mengudara. Selalu menyenangkan membuat sahabatnya ini kesal.
"Ya boleh lah, La. Maksudnya kenapa jam segini? Tumben banget. Biasanya jam sembilan udah diteriakin disuruh tidur kan?"
"Lala udah kuliah ya, Jati! Jadi Lala udah nggak harus diteriakin lagi kalau mau tidur!"
"Kuliah nggak kuliah sama aja La, bedanya ada dipemikirannya."
"Waw, bijak." Jati memutar bola matanya, Lala tertawa.
"Emang nggak ada tugas?" Jati berbasa-basi yang dibalas gelengan kepala Lala. Jujur, dia sangat lelah tapi dia tidak pernah bisa mengusir Lala karena mau bagaimana pun juga, Lala dulu tidak pernah mengusirnya ketika Jati datang kepadanya untuk sekedar mencari teman bercengkrama atau bermain bersama barang sekali saja dan saat Jati sedang dalam keadaan terburuk sekalipun Lala tidak pernah mengusirnya. Jati sayang Lala, begitupun sebaliknya tapi rasa sayang Jati adalah rasa sayang sahabat kepada sahabatnya atau kakak kepada adiknya, sedangkan Lala? Lala tidak memiliki kata yang pas untuk mendefinisikannya. Lala menyadari perasaannya mulai aneh kepada Jati tapi dia menolak untuk mengakuinya dan berakhir selalu menahan perasaannya.
"Lala capek." Setelah hening yang cukup panjang hanya saling memandang, akhirnya kata-kata Lala lolos dari bibirnya dan seperti yang telah Jati kira, gadis ini pasti sedang dalam masalah entah itu besar atau kecil dan Jati di sini selalu siap menjadi tempat ternyaman untuk Lala membagi keluh kesah. Jati berjanji dia akan selalu ada untuk Lala, begitupun sebaliknya.
Jati tersenyum untuk sepersekian detikberikutnya dia membawa Lala ke dalam pelukannya, posisi sofa panjang yang merekatempati memungkinkan mereka untuk merubah posisi duduk menjadi tidur kapanpun,kini Lala sedang dihadapkan dada bidang Jati, mereka saling memeluk dalamhening. Lala kemudian membenamkan wajahnya begitu saja, dia menangis di sana.Ada yang seperti menusuk dalam dada Jati saat melihat perempuan menangisapalagi Lala, salah satu orang penting dalam hidupnya. Jati menepuk-nepuk pelankepala Lala dan pelukannya juga semakin erat, hanya mereka berdua di rumahbesar itu, dua jiwa itu akhirnya membagi kesedihan mereka. Jati dengan kenanganyang tiba-tiba menyengat dan Lala dengan kenangan memilukan miliknya. Keduajiwa hancur itu saling bertalian tanpa mereka sadar.
To be continued.
preview chap 2 :
"Keivel!! Welcome home, honey!" seorang Ibu yang sangat suportif dan merindukan anaknya itu sudah bersedia dengan rentangan tangan lebarnya, satu pelukan direalisasikan.
"Nice to finally in cage again, Mom." Pelukan itu terlepaas dengan muka heran Ibunya dan gelak tawa renyah sang putra kesayangan.
"Just kidding, Mom."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arja • Na Jaemin
Teen FictionTuhan, ini tidak adil. Bagaimana bisa aku jatuh cinta terlalu dalam untuk dia sedangkan dia bahkan tidak sedikitpun menaruh rasa kepadaku? Tuhan, dapatkah aku merombak sedikit skenarioMu?