Satu

344 13 0
                                    

Pengabdian di Ujung Negeri | Azka Nindya

Kuberjalan menyusuri jalan setapak yang becek dan licin akibat diguyur derasnya hujan malam tadi. Kulihat layar ponselku telah menunjukkan pukul 22.00 WIT. Ah, sudah biasa aku pulang larut malam seperti ini. Karena sudah kewajibanku sebagai tenaga pengajar yang harus bertanggung jawab untuk menyampaikan ilmu-ilmu yang telah kupelajari selama ini.

Aku rela berjalan menempuh jarak sepuluh kilo demi tugas muliaku ini. Aku ingin anak desa ini juga memiliki ilmu untuk masa depannya. Tak apa pengabdianku di sebuah desa kecil di ujung negeri ini, toh, aku juga berasal dari sebuah desa kecil di daerahku.

Meskipun aku bukan penduduk asli daerah ini, tapi aku cukup berani untuk pulang larut malam, karena sudah terbiasa lantaran pengabdianku di sini juga sudah fua tahun. Cukuplah untuk pengalaman uji nyali.

"Bu Azka?" Aku menoleh ke belakang dan mendapati seorang tentara yang masih lengkap dengan seragam juga senjatanya.

"Pak Irwan? Iya, ada apa ya, Pak?"

Meskipun usiaku masih sangat muda dibandingkan dengan pak Irwan, tetapi tetap saja beliau akan memanggilku dengan embel-embel bu, karena seragam dinas masih melekat di tubuhku.

Dengan tersenyum pak Irwan berkata, "Oh, tidak apa-apa, Bu. Saya lihat Bu Azka jalan sendirian di malam yang sudah larut ini. Apa Bu Azka tidak takut?"

Aku terkekeh mendengar ucapan pak Irwan lalu tersenyum, "Tidak Pak, saya tidak takut, saya malah senang walau pulang larut malam. Setidaknya saya telah menyampaikan ilmu kepada murid-murid saya."

"Masyaallah, Bu Azka ini memang pantas untuk di puji. Sudah cantik, anggun, dan baik lagi."

"Ah, tidak begitu juga Pak. Saya hanya orang biasa yang mengabdikan diri kepada negeri ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsa."

"Iya, Bu Azka. Saya sungguh takjub melihat perjuangan Bu Azka untuk anak-anak perbatasan ini. Memang, ilmu sangat dibutuhkan anak-anak di perbatasan yang bisa dibilang pendidikannya kalah jauh dengan di luar sana."

Kami terlarut dalam perbincangan kami tentang pendidikan. Hingga tanpa sadar, aku sudah sampai di depan rumah dinasku.

Aku menoleh pada pak Irwan. "Pak, maaf saya pamit undur diri. Mari Pak."

"Oh, iya, Bu Azka, mari."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku langsung merogoh kunci dan membuka pintu rumahku, hanya hening yang menyapaku. Karena Devi, sahabatku itu sedang cuti pulang ke kampung halamannya selama satu pekan.

"Assalamualaikum." aku tetap mengucap salam, meskipun aku tahu di dalam tidak ada siapapun.

Setelah kututup dan kukunci lagi pintunya, aku beranjak ke kamar. Kuhempaskan tubuh lelahku ini ke kasur, dan mataku menerawang di langit-langit, menatap cicak yang sedang memadu kasih. Ah, saja cicak punya pacar, kenapa aku masih jomblo? Malu dong sama cicak.

"Astagfirullahaladzim." ucapku dengan segera saat sadar dari lamunanku. Apa-apaan aku ini melamun seperti itu. Pasti kalau ada Devi, dia sudah mengataiku dan menunjuk dengan jari telunjuknya dan mata yang mengejek 'ingat kamu itu jomblo.' sudah seperti stiker-stiker di WhatsApp yang digunakan untuk mengatai kaum jomblo.

Memang apa salahnya jadi jomblo? Kan, jomblo bukan aib, namun sebuah kebanggaan tersendiri. Belum tentu semua orang bisa menjadi jomblo. Maka dari itu berbahagialah untuk kaum jomblo, karena sesungguhnya kejombloan itu menyelamatkanmu dari lubang buaya.

"Ah, indahnya pacaran setelah menikah. Tapi sayang aku tak punya gandengan, nasib ...." gumamku yang masih dalam posisi menerawang langit-langit.

Flashback on.

Ssst! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang