Dua

166 7 0
                                    

Ujung Negeri | Alif Prayoga

Kata orang aku ini pendiam, dingin, dan cuek. Itu semua memang benar, namun tidak ke semua orang aku bersikap seperti ini. Hanya dengan keluargaku dan sahabatku saja aku bisa bersikap ceria layaknya orang biasa, selebihnya aku bersikap dingin dan cuek.

Kurebahkan tubuhku di atas rerumputan hijau dan memandangi birunya langit, namun tidak panas juga tidak mendung. Memang bersahabat cuaca pagi ini. Setelah dari subuh tadi aku dan yang lainnya mulai beraktivitas. Membantu warga sekitar yang hendak ke pasar dengan menyebrangi sungai, dan membangun jalan raya agar jalannya tidak lagi penuh dengan batu.

Lama kupandangi segerombol awan putih dan mencari sesuatu disana, yakni nama seseorang yang sangat aku sayangi, Azka Nindya. Dia adalah gadis yang mampu meluluh lantakkan hatiku. Dia berhasil menghancurkan dinding es dalam diriku dan menggantinya dengan dinding kebucinan. Ah, semakin rindu hatiku dibuatnya. Namun sayang, aku kehilangan kontaknya hingga semua komunikasiku dengannya terputus.

Ini semua gara-gara dantonku yang super tengil itu. Andai semua tak terjadi. Ah, sudahlah lupakan saja. Malas bercerita, apalagi yang menjadi tokoh antagonisnya adalah dantonku itu.

"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Sakit?"

"Mana mungkin orang sakit senyum-senyum, dasar aneh!" aku lantas bangun dan memunggungi Wildan.

"Ada masalah kawan?"

"Gak."

"Irit amat." celetuk Rangga yang entah kapan sudah duduk di belakangku bersama Wildan.

"Gimana hubunganmu sama Dek Azka, Lif?" aku menatap tajam Rangga.

"Uwes ... tatapannya tajem amat dah, Pak tentara."

Aku selalu menatap tajam nan menusuk, saat orang lain menyebut nama Azka dengan embel-embel dek. Tidak boleh. Hanya aku saja yang boleh memanggilnya dek, dan mungkin sama danton kampr*tku itu. 

"Siap, salah. Sersan!"

"Kau juga Sersan!" kataku sambil menjitak kepala plontos Rangga.

"Kalian! Malah enak-enakan rebahan. Kerja!" aku sungguh malas mendengar cuitan satu ini, siapa lagi kalau bukan Letda Dani Prawira, danton paling manis diseluruh dunia yang menjadi incaran setiap kaum hawa. Ya, begitulah kehidupan buaya.

"Hei, kau!" aku tahu siapa yang ditunjuk danton, tetapi aku tak menoleh dan tetap dalam pandangan lurus ke depan.

"Kau sudah tuli, hah?!"

"Siap!"

"Kau berdua sana, kembali bekerja" titah danton yang langsung dipatuhi oleh Wildan juga Rangga.

"Kau!"

"Siap!"

"Kau jangan pernah dekati Azka lagi."

"Siap!"

"Saya sedang berbicara dengan saingan, bukan sebagai danton."

"Memang kenapa jika saya mendekatinya?" tanyaku langsung intinya. Namun dia malah tertawa.

Entahlah orang ini, ditanya kok malah tertawa. Mungkin kebanyakan wanita yang meminta kepastian padanya, jadi ngeblank otaknya. "Alif, kau tahu tidak? Kau itu cuma Sersan, tak cocok untuk bersanding dengan Azka."

"Azka bukan berasal dari keluarga TNI. Jadi, mengapa tidak cocok? Seharusnya kau yang sadar diri, buaya itu cocoknya sama buaya."

"Terus, kau mengataiku hewan?!"

"Saya tidak berbicara seperti itu."

"Tapi, itu tadi kau bilang aku ini buaya."

"Saya hanya bilang buaya, bukan hewan."

Ssst! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang