Situasi yang rumit. Pesantren Darul Falah dihebohkan dengan anak Kyai yang punya pesantren, dikabarkan tengah hamil. Padahal, suaminya sudah meninggal enam bulan lalu dan ia belum menikah sampai sekarang.
Seluruh santri berkerumun di depan kediaman Kyai Rahmat karena mendengar kabar tak sedap itu. Semuanya ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya. Mereka menunggu sambil berbisik satu sama lain.
"Apa iya anak Kyai yang muslimah itu habis berzina?"
"Kak Aidah kan baik, tidak mungkin melakukan hal seperti itu."
"Kalau baik, lalu dua garis biru itu apa?" tanya Maryam memastikan.
Begitulah pembicaraan santri-santri yang sedang berdiri di depan kediaman Kyai. Panjang ke-ghibah-an mereka, hingga tak sadar sudah ada Ustaz Zakaria di belakangnya.
"Astagfirullah ... sudah lupakah santri-santri pondok pesantren ini dengan hukum ghibah dalam islam?"
"Maaf, Staz."
"Sudah. Ayo semuanya kembali ke kamar masing-masing," pinta Ustaz Zakaria di tengah kerumunan santri.
Bukan hanya santri, Ustaz Zakaria pun kaget dengan kabar tersebut. Namun, ia berusaha husnuzan dengan Aidah. Karena ia sudah mengenalnya bahkan sebelum Aidah menikah dengan mualaf asal Korea itu.
Ustaz Zakaria pun tak berani masuk ke dalam, karena itu urusan keluarga. Ia terus menunggu di luar mondar-mandir dengan cemasnya. Ia berharap, Kyai Rahmat tidak ambil keputusan gegabah dan bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan kepala dingin.
***
"Abi mendidik kamu untuk menjadi muslimah, bukan menjadi pezina!" bentak Kyai Rahmat sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Aidah.
Semuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, Aisyah (kakak Aidah) duduk di samping Aidah sambil menenangkan Aidah yang sedang kalut.
"Aidah juga tidak tahu, Bi," jawab Aidah terisak dengan kedua tangan yang mengepal dan gemetar.
"Tidak tahu bagaimana?! Jelas-jelas ini dua garis biru, Aidah! Kamu ini muslimah! Kerudung panjang! Bercadar pula! Anak yang punya pesantren! Lalu sekarang kamu hamil di luar nikah dan kamu bilang tidak tahu apa-apa?! Jangan bohong kamu!" teriak Kyai yang semakin menjadi.
"Abi, beri Aidah kesempatan untuk menjelaskan," tambah Aisyah.
"Apa yang harus dijelaskan kalau sudah dua garis biru begini?! Sudahlah. Sekarang, kamu bereskan semua barang-barangmu dan angkat kaki dari rumah ini. Kamu, sudah bukan anak Abi lagi," ucap Kyai yang berdiri dari tempat duduknya dan berjalan lesu agak membungkuk masuk ke kamarnya.
Teriakan Kyai Rahmat begitu menggelegar. Ustaz Zakaria sampai tak sengaja mendengar pembicaraan mereka dari luar. Ia pun merasa kasihan dengan Aidah. Entah apa yang terjadi sebenarnya. Namun, prasangka Ustaz Zakaria tak pernah berubah, Aidah tidak mungkin melakukan hal yang dilarang oleh Islam.
Apa aku nikahi Aidah saja?
***
"Cepat bereskan pakaianmu itu!" teriak Kyai Rahmat dari ruang tamu.
Aidah masuk kamar. Ia buka lemari pakaiannya dan mengeluarkannya satu per satu. Hatinya masih sakit. Air matanya masih deras membasahi baju-baju yang sedang ia kemas ke dalam koper. Aisyah mencoba membantu Aidah mengemas pakaiannya.
"Ade tenang saja. Nanti Ade bisa tinggal dikontrakkan punya suami, Mba. Jadi, Ade tidak usah khawatir ya," ucap Aisyah sambil mengelus pundak Aidah.
Sebenarnya, Aidah masih bingung apa yang terjadi pada dirinya. Ia selalu berjaga jarak dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Ia juga tidak pernah minum minuman yang memabukkan. Apalagi sampai minum obat-obatan yang membuat dirinya tak sadarkan diri. Ia pun hanya keluar pesantren jika ada keperluan saja.
Berkumpul atau nongkrong saja tidak pernah, apalagi sampai bergumul dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Aidah bukan tipe muslimah yang mudah melanggar aturan langit. Pertanyaan yang muncul dalam benaknya adalah, kenapa aku bisa hamil?
Ya, itu pertanyaan yang sedari awal terngiang di pikiran Aidah. Momen di mana suatu sore yang sedang berbahagia piknik bersama keluarga di halaman belakang rumah, tiba-tiba saja ia mual. Awalnya Umi kira anaknya salah makan. Namun, karena mualnya sampai berhari-hari, Umi mulai curiga. Umi termasuk salah satu wanita yang peka dan mudah membedakan mana mual karena sakit dan mana mual karena hamil.
Ia pun ambil test pack. Ketika Aidah keluar dari kamar mandi pasca muntah, ia arahkan test pack itu ke anaknya dan meminta Aidah untuk mengeceknya. Awalnya Aidah kebingungan. Namun, karena ia juga penasaran kenapa mual terus, dan disaat itulah permasalahan ini terjadi.
***
Masih di kamar Aidah. Aisyah membantu Aidah membereskan pakaiannya. Sekejap, ia duduk di samping adiknya. Aisyah meraih kedua tangan adiknya. Ia genggang kuat-kuat tangan adiknya yang masih gemetar, seakan memberikan kekuatan mental kepada adik satu-satunya itu.
"Mba pun tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tapi Mba selalu percaya, kalau adik Mba tidak mungkin melakukan hal itu. Mba percaya Ade sudah jujur. Mba sudah kenal Ade dari kecil. Mba janji, apapun yang terjadi, Mba akan selalu ada di samping Ade."
Aisyah pun membentangkan kedua tangannya. Aidah mendekat. Aisyah pun mendekap erat-erat. Tangisnya tumpah ruah. Aidah sangat beruntung memiliki kakak seperti Aisyah yang percaya dan support adiknya.
***
Umi menarik tangan Kyai Rahmat masuk ke kamar. Ia tutup pintu kamar rapat-rapat. Bahkan sampai dikunci agar tidak ada yang bisa masuk.
"Abi, Umi tahu Abi sedang emosi. Tapi tidak seperti ini cara untuk menyelesaikan masalah yang ada."
"Biarkan saja. Dia harus menyelesaikan apa yang sudah diperbuat. Itu sudah bukan urusan Abi lagi."
"Apa kata santri-santri nanti kalau Kyai yang punya pesantren mengusir anaknya dari rumah?"
"Justru para santri akan mendukung. Mana ada dari mereka yang rela pesantren ini dihuni sama pezina?! Terus, kalau nama pesantren kita jelek bagaimana? Umi mau tanggung jawab? Walau itu anak Abi sendiri, dia harus dikasih pelajaran," jawab Kyai tegas.
"Lalu bagaimana nasib Aidah di luar? Kalau terjadi ...."
"Assalamu'alaikum."
Belum selesai Umi Fatimah berbicara, terdengar suara salam dari muka pintu rumah mereka. Umi dan Kyai Rahmat langsung menuju pintu dan ternyata,
"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Eh, Ustaz Zakaria. Sini-sini masuk," ucap Umi.
Ustaz Zakaria duduk di ruang tamu. Umi memberikan kode kepada Kyai untuk menemani Ustaz Zakaria mengobrol. Kyai pun memahami kode istrinya itu.
"Masyaa Allah, ada apa ini Ustaz malam-malam ke rumah. Tidak baik loh bertamu malam-malam begini," tanya Kyai dengan sindiran halus.
"Iya, maaf Kyai kalau saya kurang sopan mampir malam-malam. Maaf juga tadi obrolan Kyai dan keluarga tak sengaja terdengar dari luar."
"Tapi, para santri ...."
"Semua santri sudah kami minta masuk kamar masing-masing kok Kyai. Insyaallah nanti kami coba memberi pemahaman yang baik kepada mereka agar tidak memikirkan yang tidak-tidak."
"Alhamdulillah deh kalau begitu. Terus, ada maksud apa kamu ke sini?"
"Sebenarnya, ini bukan waktu yang tepat. Maaf kalau lancang Kyai. Sejujurnya, sudah lama saya ingin mengatakan ini, tapi saya masih perlu banyak persiapan. Kalau Kyai dan Umi mengizinkan, saya berniat ingin menikahi Aidah, Kyai."
Umi mendengar pembicaraan mereka. Tangannya yang sedang mengaduk kopi hangat pun berhenti seketika. Aisyah dan Aidah yang berada di kamar pun tak sengaja mendengar percakapan Kyai dan Ustaz Zakaria, karena jarak kamarnya yang tidak jauh dari ruang tamu. Tanpa pikir panjang, Kyai pun langsung memberikan jawaban.
To be continue ....
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)
Teen FictionSemuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, A...