21

40 1 0
                                    

"Aku kira Mama udah tidur makanya aku masuk aja. Mana pintu depan gak kekunci lagi," kata Kikan. Dia tahu ada yang aneh sama Mamanya. Mamanya bahkan gak nyapa Yohan yang masih berdiri di depan pintu. Kikan jadi bingung harus ngomong apa lagi. "Padahal tadi aku udah pencet bel, udah ketuk pintu juga, tapi..." Kikan tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena Mamanya mengangkat kepalanya. Sekarang Kikan bisa melihat dengan jelas wajah Mamanya, mata Mamanya. Mamanya kayak orang yang barusan nangis semalaman. Terakhir kali Kikan melihat wajah Mamanya kayak gini adalah waktu Papanya dulu meninggal. Sama persis seperti ini. Mama kenapa?

"Ma," panggil Kikan lagi. Kikan kemudian berjalan mendekati Mamanya dan duduk di samping Mamanya. "Mama kenapa?"

Bukannya menjawab pertanyaan Kikan, Mamanya malah berdiri. Matanya bertemu dengan mata Yohan. Yohan bingung juga kenapa mertuanya menatapnya seperti itu. Ini kenapa? Ada apa? Yohan bisa melihat mertuanya itu sekarang sedang menghapus air matanya lagi yang entah sudah jatuh berapa kali. Mama Kikan lalu menghela nafas. Dia seperti ragu untuk memulai kata-katanya.

"Kikan.." akhirnya Mama Kikan bersuara. Tapi dia masih membelakangi Kikan. Kikan kemudian berdiri dari duduknya.

"Iya Ma."

"Mama mau nanya."

Kikan tersenyum. "Ya nanya aja Ma. Biasanya juga langsung nanya aja."

"Tapi kamu harus jawab dengan jujur, gak boleh bohong."

Kikan bingung. Kayaknya ini situasi yang serius. Padahal tadi dia sudah mencoba untuk mencairkan suasana. "Mau nanya apa emangnya?"

"Kamu..." suara Mama Kikan terputus. "Kamu.. kenapa kamu mau nikah sama Yohan?"

Mendengar pertanyaan itu, bukan cuma Kikan yang terkejut, tapi Yohan juga. Apalagi ketika bertanya Mama Kikan berdiri berhadap-hadapan dengan Yohan walaupun jaraknya tidak terlalu dekat. Yohan benar-benar tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya ketika mendengar pertanyaan seperti itu keluar dari mulut mertuanya.

"Kikan, jawab Mama, jawab Mama, Nak," suara Mama Kikan terdengar putus asa. "Kenapa kamu mau nikah sama Yohan? Jawab Mama.." Mama Kikan mulai menangis lagi.

"Ma.."

"Gak," Mama Kikan mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat pada Yohan untuk tidak mendekat. "Kamu disitu aja Yohan. Gak usah kesini. Biar Kikan yang jawab."

Kikan sendiri, dari awal mendengar pertanyaan itu, tubuhnya bergetar. Dia seperti sulit mengatur nafasnya. Dia hanya bisa menunduk, membuang pandangannya kesana kemari. Kenapa, kenapa ini harus terjadi sekarang? Kikan mengerti keadaan ini, tapi dia tidak mau menerimanya.

"Kikan, jawab Mama, Nak. Kenapa kamu diam aja? Jawab Mama, Kikan.." Mama Kikan menunduk, dia menangis lagi.

Jika ditanya siapa yang berada di situasi paling sulit sekarang ini, tentu saja jawabannya adalah Yohan. Dia ingin sekali melangkah, bukan, dia ingin sekali berlari kesana. Menarik Kikan pergi dari sini, menghindarkan Kikan dari pertanyaan-pertanyaan ini. Biar dia aja yang ada disini, menggantikan Kikan menjawab pertanyaan itu. Tapi mertuanya bahkan tidak mengizinkannya untuk mendekat.

Mama Kikan kemudian berbalik, menghadap anaknya yang tubuhnya sudah gemetar menahan rasa bersalah. Dia menatap Kikan yang sekarang sedang menunduk, sedang menahan tangis, sedang sulit mengatur nafasnya.

"Atau Mama ganti aja pertanyaannya?" suara Mama Kikan memang pelan tapi terdengar menahan marah. Orang-orang yang tenang ketika sedang marah bukankah lebih menakutkan? Mendengar kalimat Mama Kikan itu, Yohan semakin tambah frustasi.

"Kamu... hamil anak siapa?"

Kikan segera mengangkat kepalanya. Matanya sudah sangat berair. Bibirnya bergetar hebat. "M.. ma.."

To Reach YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang