Sudah 2 hari Renjana berada di Bangka Belitung. Ia melakukan solo travelling sebagai langkah awal untuk memulai kehidupan baru. Ya, kehidupan baru setelah kedua orangtuanya memutuskan untuk bercerai dan ia putus dari pacarnya yang resmi berkenalan 3 bulan lalu, Wahyu. Renjana tidak pernah merasa lebih buruk daripada saat itu hingga akhirnya ia memutuskan pergi untuk menenangkan hati dan pikirannya. Selama di Bangka Belitung, pulau nan eksotis dengan keindahan pantai dan bebatuannya yang pernah dijadikan lokasi syuting film Laskar Pelangi, ia menyambangi berbagai tempat dengan menggunakan sepeda motor yang ia sewa. Sendirian di kota baru dengan bermodalkan GPS dan senyum nan manis mengantarnya bertemu berbagai macam manusia. Contohnya Tomo, lelaki bertubuh mungil dengan ujung mata yang nakal memberikannya masukan tempat-tempat yang bisa dikunjungi serta alternatif jalan menju kesana. Ia terkesan sangat dewasa karena logika berpikir dan cara Ia memutuskan sesuatu. Renajana berkenalan dengan Tomo di Penginapan. Tomo bilang, ia sedang melakukan pengecekan penginapan milik orangtuanya. Ada lagi kawannya Tomo, Otu, lelaki jangkung nan jenaka yang sering kali mengingatkan Renjana bahwa di kota itu Renjana tidak boleh pulang terlalu malam.
“Disini bukan kota besar, Na. Jangan pulang terlalu malam, sepi. Gelap pula. Kalau mau biar aku antar…”, katanya sambil tersenyum simpul.
Renjana tersenyum dan berterimakasih atas masukkannya itu.
Sampailah Ia di hari terakhirnya berada di Belitung, Ia duduk di pinggir pantai di sore hari sambil memandangi telepon selular. Ide gila terlintas di pikiran Renjana. Mencoba peruntungan dengan menelepon nomor secara acak.
“huff, oke nomor pertama..”, katanya pada diri sendiri.
“Halo”, kata orang di ujung telepon. Suaranya terdengar seperti wanita pekerja dengan nada bicara yang cepat.
“Hai, Salam kenal, maaf mengganggu, kamu ada waktu?”, sahut Renjana.
“Maaf Saya tidak mau membuat kartu kredit mba!”, bentak suara di seberang sambil menutup teleponnya. Renjana mendengus kesal. Lalu ia mencoba lagi peruntungannya dari nomor berikutnya.
“Haloooww…”, jawab suara disana dengan suara sedikit terengah. Suaranya seperti suara lelaki paruh baya yang sedang kelelahan berolahraga.
“Halo, Salam kenal, bisa minta waktunya?”, sahut Renjana sopan.
“aahh… hhmm… Video call saja mau? uuhh…”, terdengar suara desah dan napas terengah. Renjana panik dan langsung menutup teleponnya.
“Gila”, pikirnya sambil segera memblokir nomor tersebut.
Renjana tertawa atas ide gilanya itu, baru 2 nomor acak saja sudah membuatnya berpikir bahwa manusia itu beraneka macam.
“Na, ngapain disitu?”, kata Tomo.
“Eksperimen”, sahut Renjana sambil mengulum senyum. Tomo mengerutkan keningnya, mencoba berpikir eksperimen apa yang sedang dilakukan Renajana sore hari seperti ini. Renjana menangkap kebingungan Tomo dan akhirnya menjelaskan duduk masalahnya. Tanpa Renjana sadari, Ia malah asyik terus melanjuti dengan bercerita alasannya data kesana.
“Na… Kamu tuh ga butuh pergi. Kamu cuma butuh penerimaan diri sendiri kalau tidak semua hal bisa kamu dapat. Kamu perlu paham kalau kamu sudah berusaha sebaiknya dan perlu memaafkan diri kamu sendiri. Sudah jangan aneh-aneh lagi”, kata Tomo sambil menatap Renjana.