Kue cokelat bulat berdiameter tiga puluh sentimeter setinggi dua belas sentimeter berada di hadapanku. Lilin merah yang berbentuk angka empat belas menyala di atasnya. Tak lupa lilin-lilin kecil yang berjumlah dua puluh mengelilinginya, menyala seperti kembang api kecil yang meletup-letup.
Ayah dan bunda mengapitku, berada di samping kanan dan kiri. Tersenyum seperti orang tua yang baru saja memiliki anak pertamanya. Sedangkan aku merasa jengah, sedikit kesal, tapi juga sedikit senang. Sedikit. Tentu saja. Meniup lilin di acara tahunan ini kadang membuatku merasakan tiga hal itu.
Maksudku... halo, umurku empat belas tahun.
Dan mungkin kalian akan bertanya, "Halo, lalu ada apa di umur empat belas tahun?"
Sebenarnya tidak ada apa-apa, aku hanya jengah. Aku sudah menjadi remaja laki-laki dan kedua orangtuaku masih menganggapku seperti anak empat tahun. Berapa pun usia sang anak, orang tua akan menganggap mereka sebagai anak kecil, kata-kata yang indah, bijak, dan——aku benci mengakuinya——benar.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga." Mereka berdua bernyanyi, tersenyum, dan menepuk-nepuk telapak tangan dengan ketukan yang pas untuk mengiringi nyanyian mereka.
"Ayah, Bunda, apa ini harus? Maksudku, di umurku yang sekarang?" tanyaku sambil menatap mereka silih berganti.
"Tentu saja, ini penting!" jawab Bunda.
"Ya, penting." Ayah memperjelasnya dengan mengubah suaranya menjadi lebih berat, Seolah menyindirku jika suaraku sudah mulai... berubah.
Aku memutar mata. Sebenarnya keluarga besar kami tidak merayakan hari ulang tahun (sebenarnya, ada juga, sih, yang merayakannya). Menurut mereka: hari ulang tahun bukanlah suatu pencapaian, dan tak pantas untuk dirayakan. Tapi, Ayah dan Bunda tetap melakukannya untukku. Memberiku kue, hadiah, dan meniup lilin. Kalian benar, ini hari ulang tahunku. Tepat tanggal sebelas Januari.
Aku pun meniup semua lilin. Sebelumnya aku membuat permohonan. Aneh bukan? Apa sebuah permohonan bisa terkabul dengan hanya meniup lilin?
Mereka berdua bertepuk tangan seperti anak lima tahun. Aku mendesah. Wajahku terasa panas, pasti memerah.
"Ini hadiah dari Ayah." Ayah menyerahkan kardus berwarna biru dengan pita berwarna merah. Besarnya seperti kardus sepatu. Aku rasa aku sudah tahu apa isinya.
"Ayah...." Aku meringis ke arahnya.
"Tentu saja, perlu." Dia kembali mengubah suaranya menjadi lebih berat, lalu tersenyum memperlihatkan gigi-giginya. Jangan tanya, sudah pasti dia melakukannya untuk mengejekku.
Wajahku semakin terasa panas. Aku membuka kotak tersebut, dan isinya.... "Sepatu lari," kataku. Aku memperhatikan sepatu lari tersebut. Semua bagian atasnya berwarna hitam, dan bagian bawahnya putih. Aku tahu harganya. "Terima kasih, Ayah."
"Tidak masalah," jawabannya sambil mengacak-acak rambutku.
Sekarang giliran Bunda yang memberiku hadiah. "Ini dari Bunda." Dia memberikan kotak kecil berwarna biru dengan pita merah. Bentuknya seperti kotak jam tangan. Aku rasa aku sudah tahu.
"Bunda," desahku.
"Tidak apa-apa, Bunda memang ingin memberikan ini kepadamu," katanya, dengan senyuman berlesung pipi——padahal Bunda memiliki lesung pipi, tapi aku tidak... sudahlah.
Aku membuka kotak tersebut, lalu mataku menemukan jam tangan antri air dan anti banting berwarna biru tua di dalamnya. Ini jam tangan yang sama seperti milik Tristan (sepupuku). Aku memang pernah berkata kepada Bunda bahwa Tristan memiliki jam tangan baru bermotif armi warna hijau. Tapi aku tidak pernah berkata jika aku menginginkan jam tangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran Alali #1: Hujan Darah Iblis
Fantasy[SELESAI] [FANTASI] [13+] "Aku pikir, hidupku normal seperti remaja empat belas tahun lainnya. Hanya memusingkan tentang pacaran, jerawat, bermain, dan sebagainya. Tapi, hidupku lebih daripada itu." Aran, seorang remaja yang kehidupnya seketika ber...