15. Bahasa Tatapan

1K 80 2
                                    

Bel istirahat sudah berbunyi. Seperti biasa, Jihan hanya diam dibangkunya. Julio? Cowok itu sibuk berkenalan dengan siswi baru itu.

"Gue Julio," sapanya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum yang menurut Jihan-yang meliriknya-sok dimanis-manisin.

Pricilla membalas uluran tangan Julio. "Pricilla." Setelah itu jabatan tangan mereka terlepas tapi senyum mereka belum lepas satu sama lain.

"Oh iya, lo nggak mau ngenalin cewek yang disebelah lo itu ke gue?" Pricilla berniat sekali ingin berkenalan dengan Jihan dan meminta Julio untuk memperkenalkan Jihan padanya.

Julio menyikut pelan siku Jihan memberikan kode agar gadis itu dapat menyunggingkan senyum ramahnya walaupun terpaksa.

"Ini Jihan," ucap Julio sambil merangkul bahu Jihan yang tak lama langsung disingkirkan gadis itu.

Jihan memberikan senyum terpaksanya. Ia masih susah untuk memulai sebuah pertemanan bahkan untuk berkenalan pun ia kaku seperti ini.

"Oh iya, kalian udah lama ya temenan?" tanya Pricilla yang terlihat sekali ingin menjalin pertemanan dengan mereka.

"Nggak juga sih, kita deket karena Jihan kakak ip___"

"Aww..." Jihan mencubit perut Julio yang membuat perkataan cowok itu terputus. Pricilla menatap bingung pada kedua orang yang ada di depannya. "Kakak ip? Kakak ip apa?" tanyanya.

"Maksud gue, gue udah nganggep Jihan kayak kakak gue sendiri karena sikap baik, sabar, dan dewasanya." Diam-diam Jihan menghela nafas lega. Bisa-bisa mulut cowok itu begitu ember kayak ibu-ibu arisan.

Pricilla mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Terus kalian kenalnya gimana?" tanyanya lagi.

"Gue sebenernya juga murid baru, tapi sebelum pindah kesini gue udah kenal dia karena kebetulan orang tua kita saling kenal dan kembaran gue juga pacaran sama adiknya." Julio sangat bersemangat dalam menjawab setiap pernyataan yang diajukan gadis itu. Terlihat sekali cowok itu tengah mengambil simpati.

"Lo kembar?!" Terlihat sekali saat Pricilla memekik, matanya sangat berbinar. Mungkin ia sangat suka memiliki teman yang ternyata kembar.

Julio mengangguk. "Julian anak kelas XII IPA 2."

Pricilla beralih menatap Jihan. "Kalo adik lo sekolah lo dimana?" tanyanya sambil tersenyum ramah.

"Disini. Kelas XI IPS 1," jawab Jihan singkat bahkan terkesan acuh tak acuh.

Pricilla hanya ber'oh' ria dan mengangguk paham. Ia paham jika Jihan masih belum bisa untuk membuka dirinya dengan orang lain dan menjadikan teman.

Ia mengambil ponselnya yang ada di meja dan melihat jam yang tertera disana. Masih ada sekitar 25 menit sisa istirahat mereka. "Anterin gue ke kantin mau nggak? Gue mau beli cemilan tapi gue juga belum tau letak kantinnya dimana," pintanya sambil menatap dua orang yang ada dihadapannya ini, yang mulai sekarang kemungkinan juga akan menjadi teman barunya.

Jihan dan Julio saling pandang seolah tengah memberikan kode satu sama lain. "Yuk," cetus Julio sambil beranjak dari duduknya yang diikuti Pricilla.

"Lo ikut nggak?" tawarnya pada Jihan yang sedari tadi hanya bergeming di tempatnya. Gadis itu menggeleng pelan sebagai penolakannya.

"Beneran?" tawar cowok itu lagi.

"Iya, Yo!" Dari jawabannya, terlihat sekali Jihan mulai kesal dan jengah cowok tengil kembaran suaminya itu. "Udah kalian berdua aja."

"Mau nitip nggak?" Kali ini Pricilla yang berusaha menawarkannya. Yang lagi-lagi dijawab gelengan kepala oleh Jihan.

"Udahlah, Jihan kalo jam segini puasa makan. Jadi biarin aja," celetuk Julio sambil sedikit mendorong pelan tubuh Pricilla, lalu merangkulnya dan membawa gadis itu ke kantin sesuai keinginan gadis itu.

***

10 menit kemudian, dua orang yang sedang berjalan sambil cekikikan itu menghampirinya. Ia hanya bisa menatap malas, bisa-bisanya dalam waktu kurang dari setengah jam Julio bisa langsung seakrab itu dengan siswi baru itu. Memang pribadi orang berbeda-beda, cowok itu sangat mudah dalam bergaul. Karena sikapnya yang sangat friendly terhadap orang, membuat dirinya banyak teman. Berbeda dengan kembarannya yang cuek, acuh tak acuh dengan keadaan.

"Nih gue bawain jus jeruk kesukaan lo," ujar Julio saat sudah dihadapannya sambil menyodorkan secup jus jeruk kepadanya. "Baik kan gue, beliin lo jus jeruk. Berarti gue nggak melupakan lo."

Jihan yang mendengar itu hanya berdecih pelan, tapi tak urung ia tetap menerima jus pemberian cowok itu. Ia menoleh, menatap kantong kresek yang dipegang oleh Pricilla dengan tatapan bertanya.

Seolah paham, Pricilla langsung mengeluarkan makanan yang ada di dalam kantong kresek itu. Ada 3 plastik berisi cilok, dan 3 plastik juga berisi siomay.

Lagi-lagi hal itu membuat Jihan bertanya-tanya. Untuk apa Pricilla membeli jajan sebanyak ini? Lalu untuk apa juga semua makanan ini dibawa ke kelas bukan dimakan di kantin saja?

Julio yang mengerti arti tatapan Jihan yang bertanya-tanya pun menjawab, "kita sengaja ngebungkus semua makanan ini dan membawanya ke kelas biar bisa makan sama-sama. Pricilla yang punya ide itu."

Lihat, bagaimana mungkin orang-orang dapat dengan mudah mengerti arti sebuah tatapan tanpa pembicaraan? Apakah semudah itu ekspresi Jihan dapat terbaca oleh orang-orang? Tapi setidaknya itu sedikit menguntungkannya, karena ia tak perlu banyak bicara untuk mengungkapkan. Tapi terkadang ia juga perlu teman untuk berbicara, beruntung ada Julio yang bisa menjadi partnernya berbicara dan mengerti apa yang ia ingin saat ia tak bicara.

"Makasih." Jihan mengambil seplastik berisi cilok, menusuknya, dan memasukan bulatan cilok ke dalam mulutnya.

Mereka makan camilan mereka masing-masing dengan tenang tanpa pembicaraan.

***

Saat jam pulang sekolah. Jihan melihat suaminya tengah berboncengan dengan adiknya tengah melintas melewatinya begitu saja yang saat itu sedang berdiri di pinggir jalan. Bahkan mereka terlihat begitu bahagia. Bukan Jihan bermaksud cemburu, tapi ia hanya ingin dianggap ada sebagai istri. Ia ingin mereka saling mengenal, setidaknya menjadi teman terlebih dahulu.

Sepertinya itu hanyalah sebuah angan untuknya. Jihan menghela nafasnya hingga sebuah klakson mobil membuyarkan lamunannya.

Kaca mobil itu terbuka menampilkan seorang gadis yang baru beberapa jam ia kenal.

"Lo mau pulang kan? Bareng gue aja yuk," tawar Pricilla dengan senyum ramahnya.

Jihan nampak berpikir sebentar, tapi tak urung ia tetap mengangguk. Alasan ia mau menerima tumpangan ini tanpa menolak adalah karena ini perempuan. Apa karena ia sudah menikah? Salah satu alasannya. Tapi yang lebih tepat karena Jihan lebih nyaman jika diantar dengan perempuan daripada dengan laki-laki.

Jihan memasuki mobil dan duduk di sebelah kursi penumpang. Setelah itu, mobil bergerak melintasi jalanan kota.

"Maap gue ngerepotin," ucap Jihan tak enak secara tiba-tiba.

Pricilla yang sedang melihat kearah depan terpaksa membagi fokusnya kesamping. "Nggak kok, lagian kan gue yang nawarin. Jadi nggak ngerepotin."

Setelah itu, tak ada percakapan lagi diantara mereka. Mereka fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. Jihan yang sedang bermain ponselnya sedangkan Pricilla yang fokus menyetir.

***

Fairahmadanti1211

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang