2. Aku Yakin, Mataku Yang Salah

197 51 19
                                    

Harusnya aku senang ada yang bersedia menolongku untuk memberitahu guru bahwa aku sedang sakit. Tapi masalahnya aku tidak sakit, hanya merinding yang tidak berujung dan merasa tidak nyaman yang menyerang sampai ke ulu hati.

"Ya Tuhan, wajah kalian pucat!" Bu Ani mendekati kami. "Kalian benar-benar sakit?"

Kami bertiga tidak menjawab.

"Sebaiknya kalian pergi ke UKS untuk diperiksa atau semacamnya, di sana ada Perawat yang akan membantu kalian," ujar Bu Ani.

Aku, Tristan, dan Nova saling menukar pandangan. Kami bertiga setuju, mungkin itu ide yang paling baik. Lagipula aku tidak akan bisa menyerap pelajaran dengan suasana seperti ini. Pikiranku terfokus kepada hal lain, apa yang bisa membuatku seperti ini?

Kami bertiga berjalan menuju UKS yang tempatnya berada di area belakang sekolah. Dekat dengan berbagai lapangan-lapangan olahraga dan gudang. Di perjalanan menuju ke UKS, rasa tidak nyaman ini semakin hebat.

"Sebenarnya ini apa, sih? Kenapa kita bertiga merasakan semua ini?" Tristan mulai kesal.

"Aku rasa ini azab karena aku berteman denganmu, Tristan," jawab Nova.

"Enak saja!"

Sampailah kami di area belakang sekolah. Gedung UKS yang terdiri dari tiga lantai terlihat di depan mata. Ya, gedung UKS sekolah kami sangat besar. Karena bukan hanya diperuntukkan siswa SMP saja, tapi bagi siswa SD dan SMA. Juga gedung ini dijadikan sebagai basecamp bagi klub PMR.

Sebelum aku memasuki teras depan gedung, aku melihat kepulan asap tanah yang membumbung tinggi ke atas. Sampai-sampai mungkin sejajar dengan atap gedung UKS.

"Kalian lihat itu?" tanyaku.

"Ya, aku melihat teh madu hangat di dalam sana," jawab Tristan.

"Bukan di dalam, tapi di belakang sana." Aku menunjuk ke arah belakang gedung yang masih ditutupi oleh asap tanah.

"Di belakang saja tidak ada ranjang tidur, Aran. Ranjang tidur berada di dalam," kata Nova.

Mereka berdua masuk lebih dulu ke dalam gedung UKS. Sedangkan aku malah terpaku menatap kepulan asap tanah berwarna cokelat itu. Seolah ada sesuatu yang menarikku agar mendekat dan melihatnya. Apa lagi aku pun penasaran ingin melihatnya. Sebenarnya datang dari mana asap tersebut.

Dengan langkah terseok-seok, aku berderap menuju belakang gedung UKS. Aku harap aku tidak melihat sesuatu yang aneh. Mungkin asap tanah itu berasal dari petugas pembersih yang sedang membersihkan area belakang. Atau mungkin dari alat-alat berat yang sedang bekerja. Aku dengar yayasan sekolah akan membangun area kolam renang di belakang sana. Tapi aku tidak tahu jika pengerjaannya dimulai pada hari ini.

Aku sampai di sini, di belakang gedung UKS. Tangan kananku memegangi dinding, sedangkan tangan kiriku masih memegangi perut. Asap masih mengepul, membuat jarak pandang mungkin hanya sekitar radius dua sampai empat meter saja. Kepalaku masih mencari penyebab terjadinya kepulan asap tanah ini, tapi mataku tak kunjung menemukan apa-apa yang bisa dijadikan sebagai alasan yang cukup logis.

Lalu, tiba-tiba aku merasakan sebuah angin aneh yang menerpa wajahku. Aku jadi serasa berada di pinggir rel kereta api yang sedang dilintasi oleh kereta. Sensasi angin ini sama. Seperti ada yang melintas di depanku dengan kecepatan tinggi. Asap tanah pun ikut bergerak-gerak di hadapanku.

Telingaku mendengar sesuatu yang aneh. Seperti suara sesuatu yang mengerang kesakitan. Suaranya mirip hewan buas. Aku mundur satu langkah. Tidak lucu jika tiba-tiba aku diseruduk oleh babi hutan atau diterkam oleh macan kumbang. Di sini masih banyak hutan, dan terdapat pula hutan lindung, bukan tidak mungkin kedua hewan itu berkeliaran.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang