PROLOG

12 3 0
                                    


Kamu yang telah melukiskan bahagia,
Kamu juga yang menorehkan luka.
_Tsamara H.Z_


“Ara, aku mohon maafin aku Ra” Ucap laki-laki itu memohon.

“......”

Ara tak bergeming masih menunduk sembari menutup mata, menahan supaya tak ada
buliran air yang keluar dari netranya.

Laki-laki itu mengacak rambutnya frustasi “Ra, please maafin aku, aku khilaf Ra. Aku benar-
benar menyesal.”

“Hmm...saya maafin kamu. Tapi jangan harap saya bisa melupakan apa yang sudah kamu
lakukan terhadap saya.”

Laki-laki itu menghela nafas gusar, lalu tersenyum “Terimakasih Ra. Tapi kita masih bisa
bersama kan?” Ucap laki-laki itu berharap.

“Maaf saya tidak bisa! Saya sadar selama ini saya salah besar! Sudah melakukan hubungan
yang salah, saya sudah menyalahgunakan fitrah cinta yang sudah diberikan oleh sang
pemilik cinta, yang seharusnya saya yang mengendalikan cinta, bukan malah cinta yang
mengendalikan diri saya.” Jeda Ara menghela nafas.

“Terima kasih sudah mampu membuat saya mengerti apa itu cinta dan sebuah kecewa.
Kamu yang telah melukiskan bahagia, kamu juga yang menorehkan luka. Terima kasih sudah
menyadarkan saya tentang pedihnya pengharapan kepada selain Dia. Terima kasih sudah
pernah hadir di kehidupan saya, yang sudah rela menahan ego kamu demi saya, yang selalu
mengalah walau saya yang bersalah, kamu yang selalu sabar dengan tingkah saya. Terima
kasih kamu telah bersedia menjadi cinta pertama saya, meski tak seperti apa yang saya
harapkan.” Ara menjeda,menghela nafas dan berusaha menahan agar tak ada cairan bening
yang lolos ke pipi merahnya, tetapi sayang cairan bening itu sudah lolos dengan santainya.

Laki-laki itu mendengarkan Ara dengan seksama. Mencerna apa yang di ucapkan oleh Ara
kepada dirinya.Dengan menundukkan wajahnya yang sesekali melihat Ara yang berusaha
menahan cairan bening di netranya.

Ara memejamkan matanya supaya tak terisak, dengan tangan yang terus berusaha menyeka
cairan bening yang bedara di wajahnya.

“Boleh saya berpesan?” tanya Ara tanpa menatap laki-laki yang terus menunduk.

“Silahkan.” Jawab laki-laki itu lesu

Dengan wajah yang terus di aliri oleh cairan bening, Ara berusaha untuk tersenyum dan
berujar “Jika nanti kamu sudah menemukan wanita pengganti saya, tolong jaga perasaan
dia, jangan pernah membuat dia kecewa, hargai dia, sebagai mana kamu menghargai ibu
kamu. Jangan pernah sekalipun membuat wanita itu meneteskan sebulir air matanya. Cukup
saya wanita pertama dan terakhir yang merasakan sakitnya sebuah kekecewaan.”

“Ra, tolong beri aku kesempatan, aku masih sayang kamu. Aku tahu aku salah, emang ngga
bisa kamu beri aku satu kesempatan lagi? Aku berjanji nggak akan melakukan kesalahan
yang sama.” Laki-laki itu kembali memohon dan berharap jika Ara mau menerimanya untuk
memberi kesempatan memperbaiki semuanya.

“Cukup Gal! Aku nggak bisa. Aku sudah nggak ingin melakukan pembuatan dosa lagi....hiks,
aku udah capek dengan semua janji-janji manusia! Hiks...semoga kamu ngerti apa maksud
aku. Aku pamit.” Ara berdiri hendakmeninggalkan taman yang penuh akan luka. Tetapi
belum sempat Ara melangkah, tangannya ditahan oleh seseorang, yang tak lain adalah laki-
laki itu yang bernama Galih.

“Ra, seburuk itukah aku? Hingga kamu tak mau beri aku kesempatan lagi?” Menatap Ara
lekat, dengan tangan yang masih memegang pergelangan tangan Ara.

Ara langsung membuang tangan yang memegang pergelangan tangannya dengan hati yang
berusaha tak terpancing amarah, akhirnya ia membalikkan badan dan berucap. “Saya tidak
berhak menilai baik buruknya seseorang. Gal ingat masih banyak wanita di luar sana yang
jauh lebih baik daripada saya. Saya permisi.” Menatap tajam laki-laki di depannya.

Ara membalikkan badan kembali melangkah, dan di kejutkan dengan adanya seseorang di
depannya yang berdiri dengan tegap menatap wajahnya lekat-lekat. Hingga Ia terpaksa
menghentikan langkahnya dan membalas menatap laki-laki di depannya.

“Ada apa lagi?” Ketus Ara sambil menatap lawan bicaranya tajam.

“Ara, aku nggak bisa cari wanita sebaik, sesabar, dan sesetia kamu Ra!”

Ara tertawa sumbang “Hahaha...kamu nggak salah ngomong Gal? Apa aku yang salah
dengar? Kalau begitu kenapa kamu sampai selingkuh? Udah lah aku capek! Mau istiraha!
Semoga aku dan kamu bisa saling mengikhlaskan.” Ara menjeda dengan menampilkan
senyum tipisnya kemudian melanjutkan ucapannya. “Ketika di sekolah anggap seperti tak
pernah ada sebuah hubungan komitmen di antara kita atau bahkan kita tak saling
mengenal.”

“Apa kamu begitu membenciku? Hingga kita harus bersikap bak orang asing?”

“Aku sama sekali tak ada sepercik niat untuk membenci kamu. Mungkin memang benar
mengenalmu itulah takdir yang harus kuterima dari Dia. Dengan itu aku bisa kembali dekat
kepada-Nya. Aku permisi , assalamualaikum.” Ara mekangkah meninggalkan semua luka
yang begitu menyakitkan.

“Wa’alaikumussalam.” Jawab Galih lirih dengan menatap sendu punggung wanita yang
sudah Ia hancurkan sebuah rasa kepercayaan, sehingga hanya ada rasa menyesal yang
menyelimuti hati dan pikirannya.

Galih tak menyangka akan kehilangan sosok wanita yang begitu sabar, bahkan wanita itu tak
pernah marah kepadanya, selalu menahan marah, cemburu dengan sendirinya tak berani
menungkapnya, Ia akan selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

Sungguh Ia tak menyangka kisahnya akan seperti ini. Galih menjambak rambutnya frustasi

“AAAAAAAAAAA...kenapa ini bisa tejadi! Kenapa aku begitu bego hingga akhirnya aku harus
kehilangan Ara.” Galih terduduk lemas di bangku taman, beruntung hari sudah sore dan
cuaca yang begitu mendung sehingga taman sepi pengunjung.

“Bego! Kenapa harus jadi kayak gini. Semoga kamu bisa bahagia Ra dengan cara kita seperti
ini dan semoga kamu bisa mendapatkan yang labih baik dari pada cowo bre***** kaya aku.
Semoga juga aku bisa ikhlaskan kamu Ra.” Galih bangkit dan berlalu menuju motor sportnya
meninggalkan taman dengan perasaan menyesal yang menyelimutinya.

Berbeda halnya dengan Ara yang terus melangkah tanpa arah dan tujuan, hingga Ia berhenti
di sebuah danau yang begitu indah yang mampu menenangkan batin dan jiwanya. Ara
duduk memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus mengenai wajahnya.

Ternyata seperti ini rasanya luka dalam yang tak terlihat, luka yang teramat sakit tapi tak
menampakkan setetes darah pun. Tetapi mengapa mampu memberikan rasa sakit yang luar
biasa? Sungguh aneh bukan? Bahkan hanya keikhlasan yang mampu mengobatinya.

“Hayooo...lagi ngapain kamu dek? Malam-malam di balkon sendirian ngelamun lagi. Hati-hati loh
ntar kesambet kan lucu jadinya.” Gibran ketawa garing, lalu mendudukkan tubuhnya dikursi sebeleh
adiknya.

Kemunculan Gibran mampu membuyarkan lamunan Ara tentang masa lalunya, sehingga membuat
Ara kembali ke dunia nyatanya.

“Apa sih bang! Datang-datang main nyelonong, nggak permisi dulu.” Kesal Ara dengan kelakuan
abangnya itu yang hobi ngajak ribut.

“Yeee dari tadi abang sudah ketuk pintu, tapi kamu nggak nyaut sama sekali. Malah asik melamun.”

“Heheee...maaf bang Ara nggak denger.” Ara menyengir menampilkan deretan gigi putihnya yang
rapih.

“Lagi ngelamunin apa?” Tanya Gibran dengan membawa Ara ke dekatnya supaya Ara menyenderkan
kepalanya di bahu Gibran.

“Abang pasti dah tahu, tanpa Ara kasih tahu.” Masih tetap menyenderkan kepalanya di bahu Gibran. "Kalau di ingat-ingat lucu ya bang, kisah cinta pertama yang tragis. Haha..." Ara tertawa jika harus kembali mengingat zaman jahiliyahnya.

“Hmmm...ya sudah nggak usah kamu pikirin. Dah malam besok sekolah, gih tidur.” Perintah Gibran
dengan mencium pucuk kepala adik satu-satunya itu.

“Mmm...iya, Ara mau nutup pintu dulu.” Bangkit dan berjalan masuk untuk menutup pintu balkon
dan di bantu oleh Gibran.

“Abang ke laur ya. Lailatu Sa'idah shalihah.” Gibran berlalu dari kamar Ara.

“Lailatu Sa'idah abang sayang.” Ara berjalan menuju ranjangnya dan mulai merebahkan tubuhnya
mengistirahatkan jiwanya, sebelum tidur Ara selalu menjalankan sunah-sunah sebelum tidur.

Mengenalmu Itulah TakdirkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang