Chapter 1 : Suara

23 3 0
                                    

“Aku, Ara”

***

“Ya udah, ya, Bu. Ara mau berangkat ke kantor dulu.”

“Iya, kamu hati-hati. Jangan lupa sarapan.”

“Iya, Bu, daaaah …. Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.”

Suara Adriana menutup sambungan telepon. Gadis yang akrab disapa Ara itu, sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantornya seperti biasa. Setelah mengecek kembali barang bawaan, ia keluar kamar. Tak lupa mengunci pintu kamarnya.

“Nad, gue berangkat duluan, ya.”

Nadia––teman kos Ara yang sedang duduk di ruang tamu––menoleh dengan dahi yang mengerut. “Pagi amat, Ra?”

Ara mengembuskan napas lelah. “Nad, lo liat jam deh,” suruhnya.

Nadia menuruti. “Oh iya,” ucapnya sambil tersenyum. “Ya udah, sana pergi.”

“Oke! Gue pergi! Daaaaah!” Ara melambaikan tangannya dan keluar kos.

Ara terus melangkahkan kakinya di jalan beraspal yang hanya muat satu mobil saja. Halte bus sudah terlihat sehingga ia mempercepat langkah kakinya.

Setelah sudah berada di halte, ia harus menunggu beberapa menit sampai bus datang. Alhasil yang ia lakukan hanya duduk-duduk di kursi besi panjang yang disediakan. Saat sendirian seperti ini, ia selalu diam dengan pandangan mata lurus ke depan.

“Heh, anak nggak punya bapak! Sini!”

Ara yang sadar hanya ada ia di sana sendirian, menoleh ke arah tiga gadis yang sedang duduk-duduk di bangku di depan kelas. Lalu, ia menunduk dan menelan ludahnya dengan susah payah. Ada rasa marah ketika dipanggil dengan sebutan itu. Namun ia lebih takut jika nantinya Ibunya tahu, ia selalu dirundung oleh teman-temannya.

“Kenapa?” tanyanya lirih.

Satu gadis menghampiri Ara. “Gantiin kita piket. Gue ada urusan,” ucap gadis yang diketahui bernama Sarah dengan begitu entengnya menyuruh Ara.

“Tapi, aku nggak––”

Sarah menoyor kepala Ara sampai membuat gadis itu mundur beberapa langkah. “Lo mau ngebantah?”

Sar, aku harus pergi sekarang,” ucap Ara gemetar.

“LO MAU NGEBANTAH?!!” Sarah mengeraskan volume suaranya. Kemudian, tersenyum menyeringai melihat Ara.

“Aku harus pergi sekarang.” Ara kembali menunduk. Jari-jari tangannya basah karena keringat dingin. Ia sangat ketakutan.

Mendadak Sarah menarik rambut Ara dengan kuat. Ara pun memegangi tangan Sara dan memintanya untuk melepaskan tangannya.

“Lo mau ngebantah perintah gue sekarang?”

“Enggak, Sar, enggak. Tapi lepasin, sakit, Sar. Aku mohon lepasin, Sar. Sakit,” pinta Ara dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Sarah tertawa, diikuti dua orang temannya yang ada di belakangnya. Sebelum melepaskan rambut Ara, ia menarik rambut itu dengan sangat kuat. Baru setelah itu, ia melepaskan dengan sangat kasar sampai-sampai Ara jatuh ke lantai.

“Sekarang, masih mau ngebantah gue?”

Dengan menahan rasa sakit di kepala dan terlebih di hatinya, ia menggelengkan kepala sebagai tanda ia tidak akan membantah ucapan Sarah lagi.

Gema Suara (2021) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang