#2 Pesantren Pezina

101 15 6
                                    

Bukan waktu yang tepat memang. Itu adalah malam di mana emosi Kyai Rahmat yang sedang tidak stabil. Image-nya hancur di mata masyarakat. Satu kampung sudah mendengar kabar burung yang beredar. Terlebih para santri Darul Falah yang sudah mendengar kabar burung yang tak sedap itu saling berbisik di sela-sela kegiatan pesantren.

"Kamu yakin mau menikahi anak saya dan berjanji merawat anak haram itu?" tanya Kyai dengan tegas.

Umi yang sedang membuatkan kopi untuk Ustaz Zakaria, sekonyong-konyong berhenti dan langsung menuju ruang tamu dengan langkah cepat.

"Ustaz, maaf. Boleh saya berbicara dengan Kyai sebentar?" pinta Umi yang baru saja tiba di ruang tamu.

Ustaz Zakaria tampak kebingungan. Ia melihat ekspresi Umi yang seakan sudah memberikan jawaban atas tawarannya. Itu ekspresi menolak. Matanya sedikit merah. Kelopak mata bagian bawahnya sedikit berair. Napasnya begitu terdengar. Matanya sedikit runcing. Bukan emosi pada Ustaz Zakaria, tapi itu ekspresi orang yang kebingungan. Ya, itu adalah ekspresi Umi yang khawatir dengan jawaban Kyai yang nantinya malah memperkeruh masalah. Tanpa bertanya, Ustaz Zakaria pun berdiri dan memohon pamit kepada Kyai dan Umi.

"Baik, Umi. Maaf kalau saya ...."

"Tidak apa-apa. Umi paham niat baik Ustaz," ucap Umi dengan sedikit senyuman.

Ketika ia sampai di muka pintu,

"Aidah tidak mau menikah!" tegas Aidah dengan suara lantang yang tiba-tiba muncul dan berdiri di belakang Umi.

Ustaz Zakaria langsung membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara Aidah. Ia melihat sekilas ekspresi kesedihan seorang wanita. Matanya sangat sembab. Sangat merah. Terlihat sekali bekas aliran air mata yang bersemayam di pipinya. Wajahnya tampak kebingungan. Bingung apa yang harus ia lakukan. Bingung apa yang terjadi sebenarnya.

Ustaz pun langsung menundukkan pandangannya dengan mengucap istigfar. Ketika menundukkan pandangannya, ia tak sengaja melihat tasbih yang digenggam kuat di tangan kanan Aidah. Tasbih yang indah. Tapi digenggam oleh tangan yang sangat gemetar. Melihat kondisi Aidah, memang malam itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyampaikan maksud dan tujuan.

"Kalau begitu Kyai, Umi, Aidah, saya pamit dulu. Assalamu'alaikum,"

Semuanya diam. Menunggu Ustaz Zakaria keluar dan menjauhi pekarangan rumah mereka. Sampai akhirnya,

"Bi, lebih baik kita jangan ambil tindakan dulu," pinta Umi.

"Dasar! Sudah bagus ada yang mau merawat anak haram itu. Ibu dan anak sama saja dua-duanya," sahut Kyai yang mengabaikan Umi dan berlalu dari ruang tamu menuju kamarnya.

***

Pagi hari yang cerah. Beberapa burung kolibri sudah memamerkan keindahan warna tubuhnya di taman bunga milik Pesantren. Burung-burung kecil dengan warna campuran biru dan hijau tosca, sungguh indah dipandang mata.

Ya, setiap pagi burung-burung kolibri ini memang selalu mampir ke pesantren Darul Falah untuk mencari makan. Burung kolibri terbang di atas bunga-bunga dan mengarahkan paruhnya ke dalam bunga untuk menghisap nektar atau sari patinya.

Memang indah di pandang mata, namun suasana pesantren tidak seindah pemandangannya. Beberapa roda koper terdengar bergulir di tanah lapang pesantren. Tidak hanya satu, tapi puluhan koper terdengar guliran rodanya ditarik oleh banyak orang.

Umi yang mendengar suara itu, langsung keluar rumah. Umi terhenyak, ia melihat banyak santri yang menarik kopernya masing-masing dan berjalan menuju gerbang pesantren. Umi langsung berlari. Ia menuruni anak tangga dengan cepat dan langsung menghentikan langkah para santri dan santriwatinya.

JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang