Aku berani bersumpah, aku belum pernah pingsan selama aku hidup di dunia selama empat belas tahun, satu hari, sembilan jam, dua puluh menit, dua puluh satu detik. Tapi, aku yakin, aku baru saja pingsan. Seingatku, tadi aku sedang berada di belakang gedung UKS. Dan sekarang, aku sedang berbaring di atas ranjang yang tidak bisa disebut empuk, juga tidak bisa disebut keras ini.
Ngomong-ngomong, perutku sudah tak lagi terasa sakit. Aroma karbol menyengat hidungku sampai membuatku bersin. Aku melihat ke ranjang yang ada di samping kananku. Di sana ada cewek semok berambut keriting yang sedang terbaring membelakangiku, kedua tangannya sedang meremas perut, terlihat masih kesakitan. Lalu aku berbalik ke arah kiriku. Di sana ada seorang cowok yang sedang tertidur pulas. Bisa-bisanya dia tertidur pulas seperti itu.
"Pppsssttt! Tristan," bisikku, "Tristan."
Dia masih bergeming.
"Pppsssttt! Tristan."
Dia menggaruk telinga kirinya.
"Tristan."
Dia duduk di atas kasurnya sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan kasar. "Apa, sih? Kau tidak lihat kalau aku ini sedang tidur?"
"Perutmu sudah tidak sakit?"
"Tentu saja," jawabnya, kemudian kembali berbaring di atas kasur. Sekarang posisinya membelakangiku. Lalu kenapa dia masih diam di sini jika perutnya sudah tidak sakit?
"Kenapa aku bisa sampai di sini?" tanyaku.
"Memangnya seharusnya kau berada di mana?" katanya, tanpa membalikkan badan.
"Aku tadi berada di belakang sekolah, untuk melihat asap tanah yang..." Aku terdiam, teringat kejadian yang sangat cepat sebelum aku muntah dan tak sadarkan diri. Apakah Maman dan Ramdhani tadi benar-benar berada di belakang gedung ini untuk membantai kepiting raksasa tadi? Tunggu dulu, apa tadi mereka melihatku muntah? Itu memalukan.
"...Tristan, bagaimana aku bisa sampai di sini?"
"Bukankah tadi kau masuk sendiri?" katanya. "Bersamaku dan Nova?"
"Sudah kubilang, aku pergi ke belakang dulu untuk melihat asap tanah yang mengepul."
"Oh." Kemudian dia terdiam sejenak. "Tadi aku langsung tak sadarkan diri setelah meminum teh mau lemon hangat. Aku tidak memperhatikanmu. Tapi tadi aku sedikit mendengar suara Maman dan Ramdhani."
Itu menjelaskan sesuatu.
"Tunggu, apa yang sedang kau lakukan di belakang gedung UKS?" Dia sedikit berbalik ke arahku.
Aku tersenyum miring. "Kau tidak akan percaya apa yang aku lihat."
"Ya, memang. Aku tidak percaya." Dia kembali ke posisi semulanya: membelakangiku. Sok-soan tidak peduli, padahal aku tahu apa yang dia pikirkan. Dia pura-pura tidak peduli dan tak acuh agar aku menceritakan apa yang terjadi di belakang gedung UKS.
"Aku melihat sesuatu yang spektakuler."
Dia diam.
"Kau pasti menganga mendengarnya."
Dia masih diam.
"Kau masih tidak ingin mendengarnya?"
Dia mengangkat bahunya sekilas.
"Tadi aku melihat pertempuran antara dua remaja SMA dan monster kepiting raksasa." Aku membuat suaraku terdengar dramatis. "Pasti kau masih tidak percaya, kan?"
"Nope."
"Mereka mempunyai senjata yang aneh dan hebat. Yang satu menggenggam pedang yang bisa mengeluarkan bola api, dan yang satunya lagi mengenakan senjata yang menempel di tangan kanannya, mirip seperti kepala triceratops."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran Alali #1: Hujan Darah Iblis
Fantasi[SELESAI] [FANTASI] [13+] "Aku pikir, hidupku normal seperti remaja empat belas tahun lainnya. Hanya memusingkan tentang pacaran, jerawat, bermain, dan sebagainya. Tapi, hidupku lebih daripada itu." Aran, seorang remaja yang kehidupnya seketika ber...