Dua hari berlalu sejak operasi transplantasi jantung, kondisi Arnold sudah lumayan stabil meskipun belum sadar. Tentu masih butuh waktu untuk memastikan apakah jantung Erick bekerja dengan baik dalam raga Arnold.
Dalam ruangan yang hanya terdengar denting halus dari elektrokardiogram, seorang gadis manis tertidur kelelahan di kursi dekat ranjang tempat Arnold terbaring. Kedua tangan yang dijadikan sebagai bantal menenggelamkan sebagian kepalanya.
Waktu terus berlalu, detik demi detik. Pelan namun pasti, kelopak mata Arnold mulai terbuka, membiasakan diri dengan cahaya yang lama tak menyentuh pupil matanya. Netra coklat gelap itu berputar mengitari ruangan, lantas terhenti pada satu sosok yang tertidur dengan posisi sedikit miring.
Arnold tersenyum memandang Rachel yang masih tertidur pulas. Sebagian wajah lelah yang tidak terbenam dalam lipatan tangan itu terlihat jelas setelah bola matanya terbiasa dengan cahaya.
Sambil mengernyit menahan rasa sakit, Arnold mengangkat tangan kanannya yang masih tersambung dengan selang infus. Memindahkannya ke arah kepala Rachel, mengusapnya dengan gerakan lambat.
Tidak sampai satu menit, wajah dari sosok lelah itu mulai bergerak terangkat, terganggu dengan sentuhan Arnold. Matanya membelalak dengan mulut sedikit terbuka ketika menyadari tatapan Arnold yang begitu lekat.
Rinai hujan secara perlahan berkuasa di kedua bola mata Rachel, tangannya mencengkeram lengan Arnold dengan erat. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, namun tatapan mereka sudah cukup mewakili ungkapan perasaan hati masing-masing.
"Jangan banyak bergerak dulu, Ar. Luka kamu belum benar-benar sembuh, termasuk dengan bekas operasi." Rachel mencegah Arnold yang hendak berusaha bangun duduk.
"Operasi?" tanya Arnold dengan raut wajah tak percaya, bola matanya memandang sekujur tubuhnya.
"Jantungmu tertikam pisau ketika tawuran beberapa waktu yang lalu, Ar. Beruntung tidak langsung meninggal dunia saat itu karena hanya menggores sedikit dan tidak dalam. Menurut penjelasan dokter ketika kondisi kamu semakin memburuk, pembuluh darah jantung terlanjur mengangkut darah kotor dan sudah menyebar ke daerah lain dalam katup jantung sehingga harus ditransplantasi. Beruntung ada orang baik yang bersedia mendonorkan jantungnya," ucap Rachel menjelaskan, ekspresi wajahnya berubah ceria ketika mengucapkan kalimat yang terakhir.
"Jadi, jantung ini milik orang lain?! Siapa?" Netra coklat gelap itu menuntut jawaban.
"Aku juga tidak tahu, Ar. Mungkin Om dan Tante sudah diberitahu oleh dokter."
"Itu artinya pemilik jantung ini ... sudah meninggal," kata Arnold lirih.
"Itu tidak penting untuk dipikirkan, Ar. Karena yang paling penting adalah kamu sudah sadar. Aku tak mau kehilangan kamu." Rachel tersenyum, mengelus lengan Arnold pelan.
"Penting bagiku untuk diketahui, Chel. Siapakah orang baik tersebut? Apakah aku mengenalnya? Untuk alasan apa ia rela memberikan jantungnya padaku dan mengorbankan hidupnya sendiri? Manusia masih bisa hidup hanya dengan satu ginjal, namun tak mungkin bila tanpa jantung." Jari-jari tangan Arnold bergerak di balik pakaian yang dikenakannya, merasakan tekstur garis bekas bedah yang sudah dijahit.
"Mungkin saja dari seseorang yang baru saja meninggal Ar, kita kan belum tahu. Siapapun dia, aku sangat berterima kasih untuknya. Pada akhirnya kamu sudah bangun dari tidur yang panjang." Guratan senyum lega terukir di wajah lelah Rachel.
Arnold tidak bertanya lagi, tetapi jari-jari tangannya tetap bergulir pelan di balik pakaian, merasakan helai demi helai benang khusus yang menyatukan bekas bedah dari ujung yang satu hingga ujung yang lain, berulang-ulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Ulang Tahun
Teen Fiction"Finally, I understand what true love meant.. You care for another person's happiness more than your own, no matter how painful the choices you face might be.."