Berjalan di tengah gelapnya malam menambah rasa kantuk yang dia rasakan. Setapak demi setapak ia lalui untuk mencapai rumah kontrakannya.Di kanan kendaraan berlalu lalang melewatinya. Hari ini hari yang berat untuknya. Konflik pribadi serta masalah di kerjaannya datang silih berganti.
Setiap orang punya caranya sendiri untuk menenangkan diri. Dan menurut Irene Nagita Sijabat berjalan di bawah kerlip bintang jawabannya.
Matanya menengadah ke atas. Menatap langit berlapis awan kelabu. Guratan di bawah matanya semakin jelas memperlihatkan seberapa lelahnya dia. Di kerjapkannya mata besarnya. Tidak, tidak sebesar itu, namun juga bukan se minimalis itu.
"Huft-" Helaan napas terdengar bercampur deru lelah.
Ibu pernah bilang seberat apapun masalah jangan suka mengeluh. Orang tidak perlu tau masalah kita. Cukup kita dan tuhan yang tau.
Langkahnya terhenti di kursi taman. Mendekat ke kursi lalu duduk. Ia pijat kakinya ringan.
"Sinta kamu mau ikut Ibu apa bapak, sayang?"
Suara wanita paruh baya mendengung di telinganya.
"Apa maksudmu! Jelas dia ikut saya!"
"Dia tidak akan bahagia hidup miskin bersama mu."
Gantian sekarang suara lelaki matang terputar diotaknya.
"Mas tolong hargai keputusan Sinta. Dia berhak memilih."
"Halah sudah cukup. Kamu berselingkuh bodoh. Apa kamu sadar apa kesalahanmu?!"
"Mas!"
Wanita itu berteriak. Teriakannya cukup membuat kepala Nagita pusing.
"Aku dan dia tidak ada apa apa. Tolong buka pikiran kamu."
"Tidak penting. Sinta cepat kemasi barang barangmu!"
Di bayangannya, gadis kecil berusia 6 tahun itu tertarik tangan ayahnya. Tidak ada kuasa untuk menolak. Wajahnya pilu memandangi sang ibu.
"ibu..."