Episode 18 / Pemuda

44 10 1
                                    

Someone's POV
Aku selalu bertanya pada diriku sendiri, apakah aku sudah melakukan yang terbaik? Apakah semua tugas yang diberikan padaku dikerjakan dengan baik dan sesuai dengan ekspetasinya? Apakah dia bangga akan diriku?

Aku tidak akan pernah tahu jawabannya, karena dia sudah tidak bisa membuka mulutnya di saat aku menanti jawaban itu.

Tubuhnya yang ditutupi selimut putih hingga leher terbujur kaku di atas kasur. Napasnya berhenti, jantungnya tidak berdetak lagi. Tangannya yang selalu memberi sentuhan hangat menjadi dingin, tidak lagi memberi usapan lembut di puncak kepalaku setiap aku berkunjung.

Tulang-tulang di tangannya terlihat menonjol di balik kulit pucatnya, terlihat rapuh saat kugenggam. Air mataku tidak bisa keluar meski aku ingin. Jeritan pun tidak keluar meski ada rasa sesak di dalam dada. Tanganku naik ke wajahnya yang terlihat damai, seperti tertidur saja. Wajah yang selalu terlihat tegas itu penuh misteri, bahkan aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya karena sedikitnya ekspresi yang dibuatnya.

Tapi untuk pertama kalinya, aku bisa membaca ekspresi wajahnya itu. Bibir yang senantiasa datar itu sekarang melekuk senyum.

Dia pergi dengan damai.
***
Di dalam ruangan dengan cahaya redup yang berasal dari lampu tidur di meja sebelah kasur, seseorang bangkit dari tidurnya, rambut berantakan dengan sekujur tubuh yang dibalut selimut abu-abu. Ia mendudukkan diri di atas kasur, satu tangan memegang sisi kepalanya, lalu diikuti decihan pelan dari mulutnya.

"Tch, mimpi itu lagi."

Sosok dengan perawakan tubuh tinggi itu berbelok ke kanan, kakinya yang biasanya mencari-cari sendal langsung menyentuh lantai. Rasa dingin sedikit menyengat dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh.

Ia berjalan ke kamar mandi, menuju wastafel lalu langsung membasuh wajah dengan air dingin yang mengalir dari keran.

Ia mengambil handuk kecil, mengusap pelan wajah dengan rahang tegas di kedua sisi. Saat ia selesai, matanya bertemu dengan bayangannya di cermin.

Di sana, bayangan tubuhnya terpampang jelas. Selama ini tubuh itu melewati rangkaian latihan berat hingga otot-ototnya bermunculan dan menerima belasan luka dari ratusan pertarungan, dapat terlihat dari beberapa bekas sayatan di bahu, perut, dan sisi punggung.

Ia mengusap rambut di dahinya ke belakang, melihat kerutan tipis di antara alisnya. Apakah ia terlalu sering menekuk alisnya sampai-sampai di usia yang belum mencapai dewasa sudah memiliki kerutan seperti itu?

Air dari keran terus mengalir, mulai menggenang di wastafel. Suasana di sana terlihat tenang, tapi ada sesuatu yang berkecamuk jauh di dalam pikiran sosok itu.

"Hah..." Ia memutar keran, lalu pergi keluar dari kamar mandi membawa handuk putih tadi. "Siapa aku sebenarnya?"

***
Kembali ke tempat tiga bocah petualang di laboratorium bawah tanah Distrik Watawato, Dunia Bayangan.

"Wow, keren!"

"Zan, jangan langsung mendekati hewan-hewan itu!"

Hewan yang sejak tadi menatap Zandar dengan mata ketakutan segera pergi dari hadapannya, meninggalkan anak laki-laki itu dengan wajah murung.

Aku menghela napas pelan, kedua tangan naik ke sisi pinggang. "Tuh, kan? Makanya, dengarkan Lani. Dia lebih berpengalaman dengan hewan."

Zandar menggerutu pelan, "Iya, deh, iya. Aku memang tidak cukup menarik untuk disukai oleh hewan-hewan seperti kalian."

Aku dan Lani tertawa pelan. Entah ada apa dengan hewan-hewan ini, mereka terlihat takut setiap kali Zandar memandang mereka. Seolah-olah sahabatku itu akan memakan mereka, padahal Zandar itu tidak tega untuk membunuh nyamuk.

TMA Series 2: ILUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang