4. Bubur Ayam Mang Oding Yang Aku Rindukan

170 40 21
                                    

"Aku... menginjak ekor Phusie, Bang," kata Tristan (Phusie adalah nama kucing peliharaanku).

Aku menatap Tristan tidak percaya. Apa yang baru saja Tristan katakan? Tapi, itu memang yang terjadi barusan. Sesuatu yang jujur.

"Oh." Bang Ahad mengangguk-angguk.

Dan, cara mengalihkan pembicaraan Tristan berhasil. Kapan-kapan aku harus mencobanya. Lagi pula Tristan tidak berbohong.

"Ngomong-ngomong, tumben sekali kau mampir tanpa mengganti dulu pakaianmu, Tristan?" tanya Bunda. Karena Tristan memang tidak pernah datang untuk bermain ke rumahku dengan memakai seragam sekolah. Biasanya dia sudah menggantinya.

Tristan menggaruk tengkuknya.

"Nanti kakakmu marah, loh."

"Hehehe." Tristan tertawa canggung.

"Kalau begitu, ayo pulang bersama Abang, Tristan. Sekalian, Abang mau ke rumahmu," ucap Bang Ahad.

Tristan mengernyit. "Mau apa?"

"Mau bertemu abangmu."

"Bang Ajun pulang jam enam."

"Ya, ditunggu saja."

"Enam jam menunggu?"

"Tidak apa-apa, kan? Lagi pula Abang yang menunggunya, bukan kau. Kenapa jadi kau yang repot?"

Tristan mengatupkan bibirnya.

"Tidak jadi makan siang di sini?" tanya Bunda, seraya melirik ke arah Bang Ahad.

"Tidak usah, Tant. Nanti saja di rumah Paman Erdin. Febri suka memasak. Ya, kan, Tristan?" Bang Ahad melirik Tristan.

"Ya," jawab Tristan, singkat.

"Kalau begitu, Ahad pamit ya, Tant." Bang Ahad mencium punggung tangan Bunda.

"Iya, hati-hati."

Bang Ahad mengangguk, kemudian kembali melirik Tristan. "Ayo, Tris." Dia berjalan lebih dulu.

"Tristan pulang, Tante." Tristan pun mencium punggung tangan Bunda.

"Iya, Sayang," jawab Bunda.

Mereka berdua mendekati motor besar yang tangki bahan bakarnya berwarna merah. Bang Ahad naik ke atas motornya, lalu mengenakan helm full face miliknya sampai berbunyi "klik". Diikuti Tristan yang naik ke boncengannya.

Bang Ahad membunyikan klaksonnya. Lalu, motor pun melaju.

"Yuk, masuk," ajak Bunda sambil tersenyum. "Bunda sudah masak buat makan siang."

Aku mengangguk ke arahnya. Kemudian kami berdua masuk ke dalam rumah.

***

Malam harinya, aku tidak sengaja terbangun di tengah malam, karena perutku keroncongan——ini salah sebabnya aku suka bangun terlambat di pagi hari. Aku melirik jam weker yang ada di atas laci, tepat di samping kanan ranjang tidur. Huruf digital berwarna merah menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh lima malam.

Oh iya, tadi siang Tristan tidak jadi datang ke rumahku. Kami berdua sempat chatting tadi. Katanya dia tidak menemukan cukup alibi untuk meyakinkan kakaknya. Lagi pula apa yang ingin dia dengarkan adalah percakapan Bunda dan Bang Ahad.

Aku mengembuskan napas, lalu bangkit dari kasur, lalu berderap menuju pintu kamar.

"Aku tahu, ini berat. Dan aku juga tidak rela, tapi itu ketentuannya, kan?"

Suara bariton yang bergema dari luar kamarku terdengar. Membuatku terpaku sebelum tangan kananku memegang gagang pintu. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak punya cara lain untuk mengetahui apa yang terjadi. Aku bosan disebut sebagai anak kecil. Sekarang aku sudah remaja. Dan aku juga ingin tahu permasalahan apa yang terjadi di dalam keluarga kecil ini.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang