Borrowed By Encounter

6 1 0
                                    


"Kukira takdir mempertemukan kita ... "

~~~

Cawang membeku di kematian senja. Malam menyetubuhinya dengan semena-mena, anak-anak manusia sibuk membebat tubuh dengan baju lusuh yang mereka punya. Bau keringat dan serpihan bedak luntur dari wajah-wajah lelah. Roda-roda bus kota masih terus berputar, merangkak dan menggerus kerikil tajam. Berteman peliknya jalanan Kota Jakarta, jemuas dan badut pelacurnya menari perut menyongsong malam yang rindu terlelap. Halte-halte dingin, berbaris mengelilingi kota, meminjamkan harapannya untuk jutaan manusia yang haus dan kelaparan. Lantai-lantai besi, menguliti daging-daging kaki yang kebas menapaki hari penuh siksaan. Muka-muka sabak, mata-mata rebas, mulut-mulut sumpah serapah, kepala-kepala rengat, membusuk bersama Cawang dan roda bus kotanya.

Malam itu, aku jatuh cinta pada Cawang.

Aku berdiri gontai, remah harapanku mengambang, nyawaku nyaris sedikit lagi direnggut malaikat. Mataku mengerjap, serbuk-serbuk halus turun serupa hujan, memandikan wajah kotor seorang pecundang, turun dari sudut mata sampai merembes ke dagu. Nada-nada sendu berlarian dalam telinga, menikam kepingan kenangan yang menerobos masuk, merajam sosok yang hancur dirudapaksa kepahitan hidup.

Namun malam itu, kutemukan sepasang mata jenaka yang menyapa dari sela-sela kerumunan orang di halte bus. Aku terpegun, menatapmu yang tak kunjung menoleh kendati dihujani tatapan liarku. Kamu hanyalah sosok laki-laki sederhana, dengan balutan kemeja putih dan celanan bahan hitam, hampir sama sepertiku. Mataku menyelidik rok hitam yang kukenakan, permukaannya lusuh seperti wajahku. Kamu juga menutup kedua telingamu dari bisingnya halte bus. Tak bisa kutahu lagu apa yang kamu putar hingga kepala mungilmu mengangguk-angguk. Aku hanya menerka, melalui jaket almamater hijamu dan sinar layar ponselmu. Jaket itu sama denganku, kupikir kita satu kampus. Sampai kuingat kembali, aku tak mengenalmu.

"Bus jurusan Cawang-Taman Mini. Cawang-Taman Mini."

Seorang pegawai halte berseru, mengagetkanku yang bodohnya masih terpaku menyelami parasmu. Malam sudah larut, tapi Cawang semakin ramai tak tersentuh. Kamu termenung memandangi antrian para buruh kota yang mencoba mencari satu pijakan kecil untuk berdiri di dalam bus. Kulihat kamu menelan ludah, jakunmu bergerak naik turun. Lalu kamu menyingkir dari muka pintu bus yang terlalu penuh. Aku tanpa sadar mengekorimu, ikut menyerah menghadapi sesaknya bus itu.

Kita duduk berdua, berdampingan dengan jarak satu langkah di kursi besi yang berderit setiap kali kumainkan kaki. Atensimu masih terhisap oleh layar ponsel yang menerangi redupnya langit halte, menyembulkan sedikit kerlip senyum di wajah pasi. Aku senang untuk itu, sebagai orang bodoh yang bahkan tak mengetahui tentangmu sama sekali.

Perlahan sebagian hatiku yang rapuh setelah sepanjang hari terbentur kegiatan OSPEK mulai menginginkanmu. Sampai kesempatan itu datang, ketika seorang kakek tua menggeser dudukku. Aku tergusur ke dekatmu, menyorot bingkai matamu yang tercenung melihatku. Tak kusadari tahu-tahu pundakku sudah menyentuh lenganmu. Keterkejutan kita memunculkan rona jenaka di bola matamu. Garis bibirku merekah, sepasang mata jenakamu meletuskan tawa paling gugupku.

Kegugupan itu berubah menjadi kikuk tak tersembunyi saat kita saling menatap lagi ketika bus kedua datang. Kita berdiri canggung di muka pintu, bersama melangkah masuk dan tersenyum lega saat melihat kursi-kursi kosong. Kamu mengambil kursi tengah dan penumpang yang menjejali bus membuatku terpaksa duduk terpaut satu kursi darimu. Kamu melirikku lagi, alis tebalmu menukik jenaka, mungkin bertanya-tanya mengapa aku betah sekali mengikutimu. Aku membuang muka, malu tentunya. Lalu seorang pria tua berjaket kulit hitam terkekeh melihatku, mungkin ia menyadari pipiku yang bersemu merah.

"Kalian satu kampus? Teman, ya? Kok nggak ngobrol?" tanyanya bertubi-tubi sambil menudingku dan kamu.

Kamu tergagap, masih dengan wajah yang berseri-seri jenaka. Sesekali melempar tatapan tak terbaca. Aku menirukan kekehan paling parau lantas terbatuk dengan cara yang jauh dari kata jenaka. Kemudian kamu mengangguk, mendadak dan agak menyebalkan karena pria tua itu jadi menertawai kita.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Borrowed By EncounterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang